Postingan

[ m i d n i g h t ( s ) ]

Terima kasih. Setidaknya kedua kata saling tumpang tindih itu kukatakan, meskipun hanya sekali. Dan di saat paling akhir. Setidaknya akan ada kalimat 'tidak apa-apa' yang menyusul di belakangnya. Yang tentu saja, dari diriku, untukku. Aku sampai lupa berterima kasih kepada diriku sendiri. Yang sudah berjuang sampai saat ini. Di saat yang tak pernah kubayangkan. Mungkin pernah, tapi tidak seintens yang kelihatannya. Yang tidak seratus persen sama persis terjadi. Mungkin hanya satu dua? Atau tidak sama sekali. Sama saja seperti yang kukatakan saat ini pada diriku sendiri. Hanya saat ini, atau tidak sama sekali. Karena beberapa meter dariku sudah berdiri objek yang membuat kepalaku semakin berat, nafasku semakin susah diajak bertahan hidup. Padahal aku masih ingin menemuimu, tapi jantungku berkali-kali berkata ia ingin menyerah. Sudah kukatakan padanya agar tidak pernah menyerah. Walaupun jarang ia gubris, bahkan hanya untuk mengiyakan saja tidak. Setidaknya ia masih saj

diriku.

Yang lain diam. Sepertinya hanya batinku yang berbicara. Tetapi masih bisa tertahan. Yang tidak tertahankan hanyalah keinginan menyanyikan lagu Tik-tok  keras-keras. Entah apa yang merasukimu , wahai diriku. Kenapa selalu saja melakukan hal bodoh? Pertanyaan yang selalu berulang kali kutanyakan dan akan terjawab oleh diriku sendiri. Dari diriku sendiri, oleh diriku sendiri, dan untuk diriku sendiri. Apa tidak lelah? Selalu. Dan diriku  akan menjawab, itu bukan melakukan hal bodoh! Itu adalah sebuah pembelajaran! Pembelaan omong kosong. Pembelajaran hanya untuk kembali diulangi lagi dan lagi di kemudian hari. Kuulangi, apa tidak lelah. Diriku  diam lagi. Perlahan menjawab, selalu . Jadi, bukan hanya aku yang merasakannya. Diriku  bisa tahu dan memahaminya. Oke, aku terima. Tak lagi sakit hati ataupun rasa tidak terima. Kami sama-sama merasakannya. Oke. Kisah ini selesai. Apakah ini adalah sebuah kisah? Tidak tahu.

mengerti

"Kalau semuanya sudah selesai, kamu datang lagi tidak apa-apa. Kalau belum, selesaikan dulu. Aku tidak mau jadi penghambat." Senyum itu tetap di sana. Bahkan setelah beberapa menit kalimat itu terhenti. Kamu tetap menatapku yang diam. Kamu juga diam. Tetap tersenyum. Membuatku makin bingung. Sebenarnya apa maksud semesta mengatur semua ini. "Maksudmu?" akhirnya aku mengeluarkan suara tanda tanya. "Aku rasa kamu cukup mengerti. Kamu hanya ingin mendengarnya lagi. Tapi tidak akan kuulangi lagi," suaramu. Tetap tenang. Seolah kalimatmu tadi tidak ada apa-apanya. Tidak berpengaruh pada apapun. Tidak ada pengaruhnya bagiku. Padahal, sangat. Terkadang aku bingung memikirkan bagaimana kamu berpikir. Yang akan membuatku semakin pusing. Kita, kamu dan aku, terlalu berbeda. Sangat berbeda. Terlampau berbeda. Sebenarnya tak pantas bersama. Tapi, kita, kamu dan aku, sama-sama menyalahi semesta. Hingga ia kesal dan kini mempermainkan kita, kamu dan aku.

Pertanyaan .2

"Aku suka seseorang." "Siapa?" "Rahasia!" Kamu tertawa lagi. Sengaja. *** Memang pernah kamu sengaja diam saja? Tidak sengaja menggodaku? Tidak pernah. Memang pernah kamu tidak menggangguku? Tidak pernah lagi. Memang pernah kamu sadar kalau kamu itu pemicu jantungku berdetak dua kali lebih cepat? Jawabannya, tidak pernah. Setidaknya, jangan pernah kamu sadar. Atau aku lebih baik pergi saja. Malu. *** "Kamu diam dari tadi." Senyum terbentuk di bibirmu. Memang pernah aku tidak terpesona? Tidak pernah. "Iya." "Aku belum tanya apa pun. Kenapa jawabannya 'iya'?" Aku diam. Kamu sengaja. Sedetik kemudian, kamu tertawa kecil. "Aku ini siapa, sih? Kamu masih kaku sekali." Jantungku. Semoga kamu tidak mendengarnya. "Kamu.. temanku." "Iya, jangan terlalu kaku kalau dengan aku. Santai saja." Aku mengangguk. Berbohong. Mana bisa? Jawabannya, tidak bisa.

Pertanyaan

"Aku nyaman sendirian," diakhiri senyuman. "Tetapi lebih nyaman lagi jika bersamamu." "Menggelikan." Kamu tertawa. Sengaja. *** Kita bertemu. Alasan yang hampir sama. Aku dan kamu, kita, sama-sama suka kesendirian. Saling mengenal karena suka sendirian. Saat itu sendirian seperti hal yang fatal. Berkenalan karena mau tak mau tetapi harus. Hingga sampai ke tahap ini. Pacar, bukan. Teman, mana mungkin. Sahabat, dari mana. Teman dekat, yang paling mendekati benar. Tidak pernah terdeklarasikan. Mengalir begitu saja. Dan sampai ke sini begitu saja. Siapa supir yang menggiring. Siapa penumpang yang hanya ikut. Kita, aku dan kamu, sama-sama tidak tahu. Hanya tahu, tiba-tiba sudah sampai di titik ini. *** "Kita ini apa?" Pertanyaan yang sangat ingin kuketahui jawabannya. Tapi apa daya. Terkadang membalas senyummu saja aku masih kaku. Apalagi setelah hari itu. Kamu bilang nyaman saat bersamaku. Apalah daya jantungku.

kenapa?

"Kenapa?" Aku diam. Terlalu banyak pertanyaan 'kenapa' untuk hari ini. Kamu diam setelah bertanya. Tetap pada posisi yang sama. Dan aku masih bingung bagaimana menjelaskannya. "Aku tidak akan menjawabnya," jawabku. Ujungnya juga menjawab. Meskipun bukan jawaban yang jelas kamu inginkan. Terlihat dari reaksimu. Menghela nafas. Tatapan mata menyerah. Tapi tetap pada posisi yang sama. "Kenapa?" Kamu tahu aku tidak suka dicecar pertanyaan yang sama. Tapi tetap kamu lakukan. Bergantian, kuhela nafas. Menirukanmu. Ekspresimu melunak. Mulai tertawa. "Apa yang lucu?!" tanyaku setengah berteriak. Menahan ekspresiku. Menahan detak jantungku yang mendadak dua kali lebih cepat melihat tawamu. Melihat bulan sabit membentuk bibirmu. Melihat tatapan mata yang melunak. Tak lagi menyerah. Melihat tawamu lagi. "Kamu." Dan jantungku sukses berdebar. "Berhenti. Jangan begini lagi. Aku semakin sakit hati." "Kamu memb

anonim (2)

Sebut saja ia anonim. Tak bernama. Agar aku bisa lupa siapa namanya. Biar aku tak lagi mengingatnya. Biar aku bisa lupa segalanya. Sebut saja ia anonim. Tak bernama. Biar segala tentangnya lenyap dari akal pikiranku. Berhenti membuatku lelah dengan semuanya. Lelah hanya karena teringat olehnya. Sebut saja ia anonim. Tak bernama. Agar lenyap saja semuanya sudah. Sebut saja ia anonim. Agar aku tak lagi menganggapnya ada. Sebagaimana ia tak menganggapku ada.