[FANFICT] Peterpan (a song by EXO)
Title :
Peter Pan (A song by EXO)
Author :
Nad @donadkacang
Type :
General
Length :
oneshoot, long story
Genre :
Romance, fantasy, friendship, angst
Cast :
-
Zia Lim (OC)
-
Xi Lu Han (EXO M)
-
Bae Suzy (Miss A)
-
Hwang Zi Tao (EXO M)
-
Find it
Playlist : EXO – Peter Pan
Summary
:
“Uri yaegin kkeuchi anil geoya.. dasi mannabol tenikka..” – EXO, Peter
Pan
“Cerita
kita tidak akan pernah berakhir.. karena kita akan bertemu lagi..” –EXO, Peter
Pan
Terbang
bersama Tinkerbell, akan kutemui dirimu di Neverland bersama semua kenangan
ini. Di tempat itu, dimana kita bisa kembali saling memandang dan tersenyum.
Aku akan menjadi Peter Pan-mu, lelaki yang berhenti di tengah waktu. Aku akan
selalu mencintaimu, meski canggung kadang menyapaku.
(Indonesian Translate of EXO – Peter Pan)
Matahari mulai menyapa langit dengan
lembut. Menyapu tiap sudut sepi dan ramai kota Seoul. Menerpakan sinar
lembutnya pada setiap orang, tak terkecuali seorang namja[1]
yang berjalan santai sendirian itu. Sambil sesekali mengganti playlist lagu di iPod genggamannya.
Ia bernyanyi kecil melewati pagi.
Sesekali tas ransel hitam di pundaknya bergeser sedikit dari bahu tegaknya.
Yang mengikuti irama lagu.
Namja
itu adalah Luhan, Xi Lu Han. Seorang murid pertukaran pelajar dari kota asalnya,
Beijing, Cina, ke Seoul, Korea Selatan. Sepatu olahraga hitam putihnya
melangkah tegas di antara koridor sekolahnya di Seoul.
Sudah dua bulan ia bersekolah di sini.
Kini ia tak lagi menjadi murid pertukaran pelajar, ia sudah pindah sekolah ke
Seoul dan menetap di sini. Walaupun sesekali pulang mengunjungi keluarganya di
Beijing.
“Luhan-ssi[2]..”
panggil seseorang dari belakang Luhan. Luhan menghentikan langkahnya lalu
berbalik. Ternyata wali kelasnya, Lee Seongsaenim[3]
yang memanggilnya.
“Nde[4],
Seongsaenim?” tanya Luhan.
“Nde,
tolong kau tunjukkan dimana kelas Zia. Kelasmu juga. Perkenalkan dia pada semua
murid. Dan.. tunjukkan tempat duduknya di kelas,” pinta Lee Seongsaenim. Luhan mengangguk kecil dan
sedikit membungkukkan badan.
“Nde,
Seongsaenim,” balas Luhan. Di sekolah
itu, Luhan mulai murid yang populer. Selain karena ia murid yang pintar,
beberapa waktu lalu ia juga menunjukkan bakat menyanyi dan menarinya saat
perpisahan murid pertukaran.
Luhan melirik yeoja[5]
itu sekilas, niatnya. Tapi matanya tak bisa lepas dari matanya. Kenapa? Lee Seongsaenim lalu meninggalkan mereka.
Kedua orang itu hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Nde,
annyeong haseyo. Zia Lim imnida[8],”
balas Zia, yeoja itu.
“Kajja[9],
kutunjukkan dimana kelasnya,” kata Luhan berjalan mendahului Zia.
Perlahan Luhan dapat merasakan,
jantungnya berdetak kian cepat. Oh, ini aneh. Luhan tak pernah merasakan
seperti ini sebelumnya. Jika berjalan bersama atau berdekatan dengan yeoja –siapa pun itu, Luhan merasa biasa
saja. Tapi sekarang? Kenapa seperti ini?
Luhan menghela nafas pelan mencoba
menghilangkan pikiran anehnya. Mengalihkan perhatiannya. Apa ini.. suka?
***
“Ini kelasmu. Dan.. kelasku juga di
sini,” kata Luhan seperti guide.
“Kelihatannya aku akan betah di sini,”
balas Zia. Luhan tersenyum kecil, walaupun ia tahu Zia berbasa-basi.
“Baguslah kalau begitu. Teman-teman, di
kelas kita akan ada murid baru,” kata Luhan pada Zia lalu pada murid lain di
kelasnya. Semua mata langsung tertuju pada Zia. Kelas yang tadi berisik, kini
hening.
“Annyeong
haseyo. Zia Lim imnida. Aku
pindahan dari Busan[10]. Bangapta sseumnida[11],”
kata Zia memperkenalkan diri dan membungkukkan badan.
“Eng.. sekarang kau bisa memilih tempat
dudukmu,” kata Luhan. Sedangkan ia tidak menyadari, semua bangku sudah penuh
kecuali bangkunya. Luhan memang duduk sendirian.
“Kenapa bangku itu kosong?” tanya Zia
menunjuk bangku Luhan. Luhan menatap bangku yang ditunjuk Zia.
“Itu bangkuku. Aku duduk sendirian. Kau
di sana saja,” jawab Luhan.
“Jinjjayo[12]?
Gomapda[13]~”
Zia berjalan riang menuju bangku Luhan. Dan Luhan mengikutinya dengan jarak
radius dua meter. Luhan tidak ingin ‘jatuh cinta’ dengan yeoja yang mempunyai terlalu banyak energi ini. Tapi.. sebangku
dengannya?
Entah Luhan sadar atau tidak, ingat atau
tidak. Ia tadi mengatakan bahwa Zia duduk bersamanya saja. Mendadak Luhan jadi
membenci dirinya sendiri. Akhirnya Luhan dan Zia duduk berdampingan. Dengan
suasana canggung yang makin menjadi.
Dengan jantung Luhan yang berdetak keras
tak cepat berhenti. Dengan Zia yang terus saja bersemangat bertanya pada seisi
kelas. ‘Siapa namamu? Bla bla bla?’ pada yeoja
atau namja yang duduk di sekitarnya.
Mungkin Zia tidak terlalu ‘berani’
bertanya ini itu pada Luhan. Zia adalah orang yang sangat perasa. Mungkin ia
harus memikirkan kata-katanya baik-baik jika akan berbicara dengan Luhan.
Tapi.. kenapa ia malah merasa.. Luhan membencinya? Padahal, kan, Luhan yang
memintanya untuk duduk di bangku Luhan?
Awalnya Zia merasa Luhan adalah namja yang seperti dirinya. Susah diatur
dan memiliki banyak energi. Tapi ternyata, namja
yang memiliki wajah maknae[14]
itu seorang yang terlalu ‘menjaga energi’nya. Luhan selalu diam dan tidak
bicara banyak, menurut Zia, itu yang dinamakan ‘menyimpan energi’.
Sangat berbalik dengan wajahnya yang
sangat-sangat cute di mata Zia.
“Eng.. Luhan-ssi?” panggil Zia perlahan. Luhan menoleh pada Zia. “Nde?”
“Kau tahu, kan.. tadi. Aku sudah
mengingat biodata murid-murid sekelas. Sekarang.. boelh aku bertanya ini itu
padamu? Kau tidak terganggu, kan?” cerocos Zia.
“Ani[15].
Aku tidak terganggu. Memang kau mau bertanya apa?” balas Luhan. Zia tersenyum
lebar. Akhirnya ia menang.
“Namamu Xi Lu Han, kan?” Luhan
mengangguk.
“Rumahmu dimana?” tanya Zia lagi. “Di..
Beijing. Aku pindahan dari Cina. Sekarang rumahku di Apgujeong[16].
Kau?” jawab Zia.
“Wah.., tumben sekali aku kembali
ditanya. Sekarang rumahku di daerah Nowon[17],”
jawab Zia.
“Ada yang ingin kau tanyakan lagi?” kata
Luhan.
“Eoh?
Eum.. keoreom[18].
Kapan tanggal lahirmu?” tanya Zia.
“1990 bulan April tanggal 20[19].
Kau? Lebih muda atau lebih tua dariku?” jawab Luhan. Zia terkekeh pelan.
“Arasseo[20]
aku lebih muda darimu. Tanggal lahirku 1991 bulan Maret tanggal 26,” balas Zia.
“Hanya selisih satu tahun. Kau termasuk
tua, arra[21]?”
canda Luhan.
“Bagaimana jika aku.. memanggilmu.. Oppa[22]?
Luhan Oppa?” tawar Zia tersenyum.
“Mwo[23]?
Oppa?” tanya Luhan tak percaya.
Seingatnya tentang bahasa Korea.. jika seorang yeoja memanggil seorang namja
dengan sebutan ‘oppa’, bukannya ada
hubungan spesial yang mengikat mereka berdua?
Saat Zia menatap Luhan penuh harap dan
Luhan menatap Zia bingung, masih mencoba mencerna omongan Zia.
“Ya[24]!!
Lee Seongsaenim datang!”
***
Bel tanda istirahat langsung memporak porandakan
kelas XII itu. Murid-murid langsung menyerbu kafetaria sekolah. Hanya tinggal
beberapa murid yang ‘tersisa’ di kelas. Salah satunya Luhan dan Zia. Luhan
mulai beranjak dari bangkunya.
“Kau tidak keluar kelas? Atau kau mau
ikut aku ke perpustakaan sekolah?” tawar Luhan. Kalimat terakhir itu meluncur
begitu saja dari bibirnya. Zia tak menjawab, ia bangkit dari duduknya. Berjalan
mengikuti Luhan. Ia tak ingin mensejajarkan langkahnya dengan Luhan. Ia takut
detak jantungnya yang kini berantakan akan terdengar oleh Luhan.
Koridor itu seakan tak berujung. Entah
kenapa saat itu yang notabene waktu istirahat, sangat sepi. Hanya terdengar
suara langkah Luhan dan Zia yang menggema.
Hingga akhirnya langkah Luhan terhenti
di depan pintu raksasa perpustakaan sekolahnya. Tangan Luhan terangkat
mendorong pintu itu. Dalam hati Zia menebak-nebak. Apa Luhan akan menahan pintu
itu –membukakan pintu- untuknya atau tidak. Dan akhirnya.. tangan Luhan menahan
pintu itu.
Di beberapa detik awal, Zia masih
menatap Luhan dengan tatapan tidak percaya. Hingga akhirnya ia memasuki
perpustakaan sambil berkata pelan, “gomapda”.
Dalam hati Zia berteriak kegirangan (baca : fangirling).
Suasana di dalam perpustakaan sepi,
sangat sepi jika diperhatikan. Hanya ada seorang librarian perempuan dan beberapa murid. Perpustakaan memang bukan
‘tongkrongan’ murid sekolah Luhan. Kecuali mereka yang benar-benar nerd.
“Aku mau ke bagian matematika dulu.
Berkelilinglah,” bisik Luhan. Zia mengangguk salah tingkah. Ia tetap mematung
di tengah jalan. Menatap punggung Luhan yang semakin menjauh.
“Ya!
Agasshi[25]!!
Jangan berdiri di tengah jalan begitu!” bisik seorang librarian dari tempatnya. Zia menoleh kaget.
“Ah, nde!”
balas Zia mengangguk cepat. Lalu membungkukkan badannya 90 derajat. Ia lalu
berlari kecil menuju rak buku fisika, pelajaran yang amat dibencinya. Demi
menghindar dari librarian galak itu.
Zia mengedarkan pandangannya.
‘Dimana Luhan?’
***
“Luhan-ssi..” panggil librarian
galak itu lembut. “Nde, Seongsaenim?” balas Luhan. Ia memanggil librarian galak itu dengan sebutan ‘seongsaenim’ atau guru karena librarian itu pernah menjadi gurunya.
“Apa buku ini milikmu? Aku melihat ini
terjatuh kemarin dari tasmu, saat kau di sini. Apa ini milikmu?” tanya librarian galak itu menyerahkan sebuah
buku catatan berwarna hijau tua gelap. Yang bertuliskan ‘Peter Pan’ dengan
tinta hitam. Yang hampir kasat mata.
“Ah, nde.
Kamsahamnida[26],
Seongsaenim. Aku kemarin mencari ini
seharian. Kamsahamnida, Seongsaenim,” kata Luhan menerima buku
itu.
“Nde,
cheonmaneyo[27].
Lain kali ceklah dulu barang-barangmu,” balas librarian itu yang entah kenapa menjadi sangat lembut di hadapan
Luhan. Zia yang melihat kedua orang itu dari jauh hanya bergidik ngeri.
“Nde,
Seongsaenim,” suara lembut Luhan
kembali terdengar.
***
Matahari sudah kembali dari peraduannya.
Berganti dengan bulan purnama yang sudah siap menempati singasana langit. Luhan
masih menekuri buku catatan itu dari beberapa jam lalu. Ia menggoreskan
pensilnya, membentuk sebuah guratan sempurna, ia tersenyum puas. Jika terbentuk
guratan yang tidak bagus di matanya, diusapkannya penghapus dengan hati-hati
pada kertas catatan itu.
Sesekali ia menatap langit yang malam
itu penuh bintang. Seakan terlukis wajah’nya’ di sana. Dengan wajah eye smile-nya yang sempurna, menurut Luhan.
Gambaran sempurna seorang yeoja.
Mata Luhan yang manyapu kamarnya
berhenti di atas ranjangnya. Ada sebuah buku bersampul hijau muda tergeletak di
sana. Ada tulisan –judul buku itu- tercetak jelas di sana, ‘Peter Pan’. Luhan
menekuri catatannya kembali.
“Neoneun
Wendy Cinderella-boda yeppeotji[28]..”
gumam Luhan tersenyum. Bagi Luhan yeoja
itu memang lebih cantik dari Wendy (tokoh perempuan yang nantinya jadi cinta
sejati Peter Pan, dalam dongeng Peter Pan) ataupun Cinderella.
Sebagai penyuka dongeng seperti itu,
wajar saja Luhan membandingkan gambarannya dengan Wendy. Luhan mengambil pensilnya
kembali dan menggoreskan Hangeul[29]
yang ada dipikirannya.
‘Neoneun
Wendy Cinderella-boda yeppeotji..’
tak lupa dengan tulisan Hanja[30]
dengan arti yang sama. Dan menambahkan tulisan kecil di bawahnya.
‘Zia Lim’
***
Jam pelajaran memulai sekolah Luhan. Ia
telah bersiap dengan murid-murid lainnya. Untuk memulai lari estafet, yang
diadakan tes lari estafet pada hari itu. Luhan menyapu pandangan pada baris
sebelahnya.
Ada Zia yang menatap lapangan dengan
antusias. Zia tepat berada di sebelahnya, berarti nanti Luhan akan bertanding
melawan Zia. Melihat senyum Zia yang bertambah lebar, Luhan tanpa sadar
menyeletuk.
“Kelihatannya kau bahagia sekali?
Padahal banyak anak yang tidak menyukai pelajaran olahraga,” celetuk Luhan. Zia
menoleh, merasa Luhan bicara padanya.
“Sudah lama aku tidak mengikuti
pelajaran olahraga. Entah kenapa aku jadi bersemangat sekali,” balas Zia.
“Tidak mengikuti pelajaran olahraga?
Memangnya sekolah di Busan tidak ada materi olahraga?” tanya Luhan tidak
percaya.
“Bukan begitu. Aku jarang mengikuti
pelajaran olahraga karena aku..” belum sempat Zia menyelesaikan kata-katanya,
guru olahraga mereka sudah datang dan menyuruh mereka bersiap-siap.
“Hana,
dul, set[31]!”
Choi Seongsaenim meniup peluit
merahnya. Barisan terdepan yang sudah mengambil ancang-ancang mulai berlari
mengejar finish.
“Yeay!
Akhirnya aku menang!” sorak Zia di garis finish.
Ia lebih dulu sampai di garis finish
daripada Luhan. Luhan tersenyum melihat teman dekatnya bahagia.
Namun lama-lama senyumnya memudar. Ia
melihat setetes cairan kental berwarna merah tua kecoklatan dari hidung Zia.
“Waeyo[32]?”
tanya Zia bingung dengan perubahan ekspresi Luhan.
“Hidungmu.. mengeluarkan darah.. kau..
mimisan!” kata-kata Luhan terputus-putus. Kakinya tiba-tiba semakin lemas,
padahal Zia lah yang mimisan. Tangan Zia bergerak pelan menyentuh cairan hangat
di bawah hidungnya. Merah kecoklatan. Darah.
“Aaaakkhhh!!” teriak Zia histeris. Ia
tak sadarkan diri ditempat.
***
Zia langsung dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Ia masih saja belum siuman. Jika dihitung-hitung, Zia sudah tak
sadarkan diri tiga jam. Dan selama itu masih ada Luhan yang setia menungguinya
di sampingnya. Dengan tangannya yang menggenggam tangan Zia.
Lee Seongsaenim
berkali-kali mendatangi mereka, mungkin hanya Luhan, untuk menyuruh kembali
mengikuti pelajaran di kelas. Tapi Luhan tetap kukuh untuk menemani Zia yang
masih tak sadarkan diri. Hingga mereka tak menyadari, banyak suster yang
membicarakan Luhan dan Zia. Irilah, romantislah, bermacam-macam.
Akhirnya kelopak mata Zia terbuka
pelan-pelan. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Mencoba menyesuaikan
pencahayaan di matanya.
“Luhan-ah[33]..”
gumam Zia bingung. Ia melihat Luhan yang tertidur pulas di kursi sebelah ranjang
yang ditempatinya. Zia tidak perlu bingung ia dimana. Ruangan berwarna putih
dengan bau obat yang menyengat, Zia sudah hafal ini rumah sakit.
Tangannya digenggam Luhan. Tunggu, Luhan
menggenggam tangannya? Ia menatap wajah damai Luhan saat tertidur. Ia tersenyum
tipis.
“Wajahnya sangat cute jika bicara. Tapi ia juga damai saat tidur. Benar-benar namja yang lucu,” gumam Zia. Tanpa sadar
tangan kanan Zia terangkat. Membelai pipi Luhan pelan. Tanpa Zia sadari,
sentuhannya membuat Luhan tersadar dari tidurnya.
“Eoh?
Kau sudah bangun?” tanya Luhan melihat tangan Zia yang buru-buru ditarik.
“Nde..
beberapa menit lalu,” jawab Zia salah tingkah.
“Gumawo[34]..”
lanjut Zia, ia lalu melirik tangan kirinya yang masih digenggam Luhan. Luhan
mengikuti arah lirikan Zia, tepat di genggamannya! Dengan salah tingkah Luhan
melepas genggaman tanganya.
“Mianhae[35],”
kata Luhan.
“Gwaenchana[36],
tanganmu hangat. Aku suka,” balas Zia.
“Eoh?”
Luhan kebingungan melihat Zia yang tiba-tiba mengambil tangannya dan meletakkan
tangan Luhan ke pipinya.
“Teruslah seperti ini. Jangan pergi
dariku,”
***
Buku catatan hijau tua itu terbuka
kembali. Pada malam dan bulan yang sama, pada hati yang berbeda. Luhan menulis Hangeul-hangeul yang ada di pikirannya. Bisa jadi Luhan mulai menjadikan
catatan itu diary-nya.
Luhan menuliskan kejadian pagi tadi saat
Zia pingsan, hingga Zia mengatakan hal-hal yang membuat jantung Luhan berdetak
keras.
‘Teruslah seperti ini. Jangan pergi
dariku,’, kata-kata Zia tadi siang tetap tergiang-ngiang di kepala Luhan. Bayangan
Zia silih berganti menyapa Luhan.
“Aku akan selalu bersamamu dan selalu
mencintaimu. Mana mungkin aku pergi meninggalkanmu?” kata Luhan pelan. Luhan
mengambil penanya, lalu menuliskan kalimat-kalimat di pikirannya.
‘Seotuljiman
neomu saranghaetdeon neoui neoege danyeoga[37]..’
dan dengan Hanja yang sama. Luhan
menutup buku catatannya. Ia lalu mengambil buku dongeng ‘Peter Pan’-nya.
“Nan
yeongwonhan neoui Peterpan. Geu
sigane meomchun ne namja..[38]”
***
Mata Luhan terus menatap pintu kelasnya.
Berharap ‘yeoja itu’ membuka pintu
itu dan menunjukkan eye smile
sempurnanya.
Tapi, hingga bel masuk berbunyi, yeoja yang ditunggunya belum juga
datang.
“Luhan-ssi?” Lee Seongsaenim
tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
“Nde,
Seongsaenim?” tanya Luhan.
“Aku tahu kau adalah teman dekat Zia.
Maafkan aku soal kemarin. Selalu mendatangimu. Tapi aku tidak ingin kalian
berpacaran di tempat seperti itu, rumah sakit. Aku tidak tahu kalian sudah
berpacaran atau tidak, tapi aku tidak ingin begitu,” kata Lee Seongsaenim.
Luhan menggangguk sopan.
“Nde,
algesseumnida[39],
Seongsaenim,” balas Luhan.
“Dan.. hari ini Zia tidak masuk. Ia
sakit. Kuharap kau bersedia mencatatkan pelajaran hari ini untuknya. Kau mau,
kan?” tanya Lee Seongsaenim. ‘Zia
sakit?’
“Ia di rumahnya?” Luhan kembali
bertanya.
“Nde,
ia dirawat di rumahnya,” jawab Lee Seongsaenim.
“Keoreom,
Lee Seongsaenim. Aku akan mencatatkan
pelajaran untuknya,”
***
Selama pelajaran Luhan tak dapat lagi
berkonsentrasi. Ia malah menyontek catatan temannya untuk Zia. Hingga bel
pulang sekolah berbunyi, ia murid pertama yang meninggalkan kelas. Padahal
biasanya ia menunggu semua temannya keluar kelas. Ia langsung menuju rumah Zia.
Dari alamat yang diberikan Lee Seongsaenim.
“Ding! Dong!” Luhan memencet bel rumah
besar bercat putih itu hati-hati. Sambil berharap yang membukakan pintu
untuknya adalah Zia.
Tapi, tak lama kemudian seorang wanita
paruh baya membuka pintu untuk Luhan.
“Annyeong
haseyo..” sapa Luhan membungkukkan badan.
“Nde,
annyeong haseyo. Mianhaeyo[40],
kau siapa, nde?” tanya wanita paruh
baya itu. Kalau Luhan boleh menebak, apa ini ibu Zia?
“Xi Lu Han imnida. Apakah benar ini rumah Zia Lim?” tanya Luhan.
“Nde,
aku ibunya,” jawab wanita itu. Luhan benar, itu ibunya.
“Saya teman sekelas Zia. Saya mau
memberikan catatan pelajaran hari ini. Karena ia tidak masuk. Kata Lee Seongsaenim, Zia sakit. Jadi saya ingin
memberikan catatan ini pada Zia,” cerita Luhan. Wanita itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Duduklah dulu, Luhan-ssi. Akan kupanggilkan Zia,” kata wanita
paruh baya itu mempersilahkan Luhan.
“Kamsahamnida,”
Luhan lalu mengekor wanita paruh baya itu. Lalu ia duduk setelah dipersilahkan
wanita itu kembali. Luhan menunggu ibu Zia memanggilkan Zia untuknya. Ia
berharap, semoga Zia mau menemuinya.
“Luhan-ssi, mianhae. Kata Zia,
ia kembali pusing. Ia juga perlu banyak istirahat,” tiba-tiba ibu Zia kembali
dari lantai dua rumahnya dengan raut wajah menyesal. Luhan lalu berdiri,
berusaha sesopan mungkin dengan ibu Zia.
“Ah, gwaenchanayo[41].
Kalau begitu saya menitipkan ini untuk Zia. Semoga cepat sembuh,” balas Luhan
menyerahkan buku catatan pelajaran hari ini.
“Gumawoyo[42],
Luhan-ssi. Zia tadi juga menitipkan
ini untukmu. Katanya, kau buka di rumah saja,” ibu Zia bergantian memberikan
Luhan secarik surat. Luhan menerima surat itu kebingungan.
“Kamsahamnida.
Kalau begitu, saya pamit dulu,” Luhan membungkukkan badannya.
“Nde,
gumawo sudah menjenguk Zia dan
catatannya,” balas ibu Zia. Luhan baru meninggalkan halaman rumah Zia saat ibu
Zia sudah menutup pintu rumahnya. Rasa lega terbersit di hatinya. Setidaknya ia
pernah menolong Zia selain saat Zia pingsan kemarin.
Luhan menatap surat dari ibu Zia di
tangan kirinya. Ada tulisan yang hampir kasat mata di depannya. Luhan
mendekatkan surat itu ke matanya agar bisa mempermudah ia membaca tulisan itu.
‘Just
opened at your home, Xi Lu Han J’ tulisan tangan
Zia. Luhan tersenyum kecil mengerti maksud Zia.
‘Kau selalu tahu jika aku selalu
penasaran denganmu,’ batin Luhan tersenyum.
***
Luhan langsung melemparkan tasnya
sembarangan. Ia membanting tubuhnya ke ranjang. Lalu membuka surat dari Zia.
Dear
Xi Lu Han ;) ,
Aku
menulis ini pagi-pagi. Hari ini aku sudah berencana tidak bersekolah. Sejak aku
mimisan kemarin, aku selalu merasa sakit. Hingga aku menulis ini, sudah ada
beberapa lebam biru di tanganku. Entah kenapa, rambutku mulai rapuh. Kusentuh
sedikit, banyak sekali yang rontok. Aku tidak mengerti semua ini J.
Jika
kau sudah membaca ini, kau ke rumahku. Aku sudah merasakan kau akan ke rumahku.
Tidak tahu untuk apa, hanya perasaanku saja. Aku tidak mau menemuimu. Aku malu.
Aku tidak mau kau melihatku yang kurus pucat, yang rambut hitam tebalku kini
tipis karena rontok.
Tapi,
Luhan-ah, aku ingin kau tahu satu
hal. Sejak pertemuan pertama kita di koridor, saat kau mengantarku ke kelas,
saat kita mengobrol tentang ‘oppa’ di
kelas, saat istirahat di perpustakaan, saat pelajaran olahraga, saat aku
pingsan, saat aku melihat wajah damai tidurmu, saat aku melihatmu menggenggam
tanganku, itu semua kenangan yang indah untukku.
Dan
baru kusadari, kini aku benar-benar mencintaimu. Aku hanya ingin kau tahu itu.
Kita
tatap berteman, kan?
Aku
akan mencintaimu sebagai sahabat.
-Zia
Lim-
Luhan membaca ulang surat Zia. Mimisan..
lebam biru.. rambut rontok.. apakah Zia juga sering pingsan? Tunggu, bukankah
itu cirri-ciri penyakit.. kanker darah? Leukimia?
Apakah Zia menderita kanker darah?
Kenapa ia tak pernah memberitahunya? Apa Zia dilarang mengikuti pelajaran
olahraga karena penyakitnya itu?
Tapi, Luhan membaca ulang
kalimat-kalimat penutup surat itu.
“Zia menyukaiku?” gumam Luhan.
‘Ah, dia tak tahu jika aku menyukainya.
Besok aku akan menyatakan perasaanku padanya,’ batin Luhan tersenyum. Ia
melipat kertas di genggamannya. Lalu diletakkannya di atas meja. Tiba-tiba smartphone-nya bergetar pelan. Luhan
lalu mengangkat telepon yang masuk ke smartphone-nya.
“Yeobusseoyo[43]?”
tanya Luhan.
“Xi Lu Han? Benar ini Xi Lu Han?” Luhan
mengenali bahasa ini. Mandarin! Dan Luhan juga mengenali suara ini.
“Ayah?! Aku Xi Lu Han!” jawab Luhan.
“Luhan, pulanglah. Ibumu sedang sakit.
Ia ingin kau pulang, nak,” jelas ayah Luhan. Ekspresi Luhan langsung berubah.
“Eomma[44]..”
gumam Luhan pelan.
“Hah? Kau bilang apa, Xi Lu Han? Aku
tidak mengerti bahasamu! Cepat kau pulang, ya. Ibumu merindukanmu,” kata ayah
Luhan.
“Iya, Ayah. Besok aku akan kembali ke
Beijing. Aku juga merindukan Ayah dan Ibu,” Luhan memutus sambungan teleponnya.
Sejenak bayangan Zia terlintas di benaknya.
‘Oh nde,
bagaimana dengan Zia?’
***
Luhan telah siap dengan koper hitam di
tangannya. Ia sedikit bingung saat di Incheon
International Airport yang besar ini. Kemarin tidak sepadat ini, dua bulan
lalu, saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di Korea Selatan.
Akhirnya Luhan duduk di salah satu kursi
tunggu. 45 menit lagi pesawatnya take off.
Ia membuka buku catatan hijau tuanya, menuliskan surat untuk Zia. Yang akan ia
berikan sepulangnya dari Cina.
Dear
Zia Lim,
Gumawo
sudah mencintaiku. Kau tahu, aku sangat sedih membaca suratmu. Aku ingin kau
cepat sembuh. Supaya kau bisa menemaniku lagi di sekolah.
Maaf,
kini aku di Incheon, menunggu pesawat menuju Beijing. Maafkan aku tidak
memberitahumu soal kepegianku ke Beijing. Eomma-ku
sedang sakit. Dan kini aku sedang menunggu pesawat itu.
Kuulangi
lagi sejak awal.
Aku
menyukaimu. Aku juga menyukaimu.
Kau
mau jadi yeojachingu[45]-ku?
-Xi
Lu Han-
Luhan melipat kertas sobekan itu. Lalu
melipatnya. Ia tersenyum kecil melihat lipatan kertas itu yang kini sudah
berada dalam amplop.
“Ding.. ding.. ding.. ding! Perhatian
perhatian. Pesawat *** Airlines
bertujuan Beijing, Cina. 10 menit lagi akan take
off. Dimohon para penumpan memasuki pesawat. Bla.. bla.. bla..” Luhan
memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Ia lalu menarik koper hitamnya
untuk meninggalkan Seoul, Korea Selatan.
***
Matahari Seoul serasa membakar Zia.
Menyalahkannya atas segala hal. Kini ia hanya dapat berbaring di ranjang rumah
sakit. Tadi pagi ibunya langsung membawanya ke rumah sakit. Setelah ia pingsan
dan semakin banyak lebam biru di tubuhnya.
Zia pun kini mulai memakai topi chikara[49]
koleksinya untuk menutupi rambut tipisnya setelah kemotherapy kemarin, yang
tanpa Zia sadari, saat Luhan menuliskan surat balasan untuknya di airport.
“Eomma..”
panggil Zia lemah pada ibunya yang terkadang menghapus air matanya yang
tiba-tiba bergulir jatuh melihat Zia.
“Nde,
Chagi[50]?
Kau mau apa? Eomma akan belikan,”
jawab ibu Zia.
“Ani,
Eomma. Aku.. cuma ingin.. tolong
teleponkan temanku. Aku ingin bertanya pelajaran,” kata Zia. Untuk kesekian
kalinya ibunya menghapus air matanya. Putri semata wayangnya masih saja
memikirkan sekolahnya daripada kesehatannya.
“Nde,
chagi. Eomma akan menelepon temanmu,”
***
Di waktu yang sama, di belahan bumi yang
berbeda.
Entah apa yang kini dirasakan Luhan.
Rasanya ia ingin berontak menyuruh pilot
pesawat itu untuk berbalik ke Korea Selatan. Rasanya ia tak ingin meninggalkan
Seoul, mungkin Zia. Tapi untung masih ada safety
belt yang menahannya untuk berontak. Jika tidak ada semua itu mungkin
pesawat ini akan berhenti di tengah jalan.
Tapi itu terlambat. Itu kejadian
beberapa jam yang lalu. Kini Luhan sudah menginjakkan kaki di negaranya. Ia
sedikit celingukan bingung karena sudah lama ia tidak kembali ke Beijing.
Kini hanya ada dua orang terpenting
dalam kehidupannya di pikirannya, ibunya, dan Zia.
***
“Zia-yya..”
Zia menoleh. Ia tak mengenal suara ini. Sejak tadi ia mengharapkan suara Luhan
di telinganya. Tapi yang terdengar malah suara seorang yeoja. Meskipun sedikit kecewa, Zia menyembunyikan itu dari Suzy,
temannya yang di telepon ibunya.
“Annyeong..”
sapa Zia lemah.
“Zia-yya..
cepat sembuh, nde. Selama ini Luhan
mencemaskanmu,” kata Suzy.
“Luhan? Kenapa?” tanya Zia.
“Saat kau tidak masuk, setiap pagi mata
Luhan selalu tertuju pada pintu kelas. Dan saat kau tidak ada di sana, ia
seperti kecewa. Kau mencarinya, kan? Ia di Cina. Ibunya sakit,” jelas Suzy panjang
lebar.
“Jeongmal[51]?
Eoh? Di Cina? Kapan ia berangkat?”
“Kemarin. Ia bilang padaku untuk
disampaikan padamu. Ia minta maaf tidak bisa menjengukmu. Ibunya sakit dan
ingin Luhan segera pulang. Mungkin ia seminggu di sana,” Zia sedikit bingung.
Rasa kecewanya sedikit menghilang.
‘Luhan mencemaskanku?’
“Suzy-yya, aku mau bertanya tentang pelajaran. Bukan tentang Luhan,”
***
Beberapa hari berlalu. Tanpa terasa
sudah seminggu lebih Luhan di Beijing. Keadaan ibunya pun sudah membaik.
Tiba-tiba Luhan ingin segera kembali ke Seoul.
Teringat surat yang ditulisnya untuk
Zia.
“Ayah, Ibu, tolong biarkan aku kembali
ke Seoul. Aku akan mengejar cintaku,”
***
Di dalam ruangan putih bersih itu.
Seorang yeoja yang terbaring di
ranjang menangis sesenggukan. Seorang wanita paruh baya di sampingnya juga
menangis sambil menguatkan anak semata wayangnya.
“Uljimma[52],
chagiya. Uljimma. Ada Eomma.
Umurmu masih panjang, nak,” kata wanita paruh baya itu. Anaknya yang terbaring
di ranjang masih saja menangis.
Masih merasakan aura berita buruk yang
disampaikan si dokter itu. Yang memvonis yeoja
itu tinggal berumur dua bulan. Karena kemotheraphy yang jarang diikutinya. Yeoja itu, Zia, memang jarang mengikuti
kemotheraphy.
Ia tajut banyak orang akan mengetahui
penyakit yang sudah dideritanya dua tahun ini, Leukimia. Ia takut banyak orang
yang mengetahui di balik senyum lebarnya, tingkah cerianya, hanya ada banyak
lebam biru yang hanya bisa terbaring di ranjang.
“Eomma..”
panggil Zia lemah menahan tangan ibunya.
“Aku hanya mau minta maaf dan.. terima
kasih. Mianhaeyo, atas tingkahku yang
kekanak-kanakan selama ini. Dan.. kamsahamnida
sudah menjadi wanita terbaik selama hidupku. Saranghae, Eomma..”
wanita paruh baya itu kembali menangis.
“Eomma..,
tolong. Jika ada seorang namja
bernama Xi Lu Han datang ke sini. Tolong katakan, aku akan tetap mencintainya
sampai kapanpun,”
***
Luhan berjalan cepat mencoba menembus
kepadatan rumah sakit elit di daerah Gangnam[53]
itu. Koper hitamnya sedikit menyulitkannya. Sepulang dari Beijing, Luhan
langsung menuju rumah sakit yang Zia dirawat inap di sana, yang diberitahu
Suzy.
Kamar 203. Luhan melihat seorang wanita
paruh baya duduk menangis tersedu di depan kamar itu. Ibunya Zia, Luhan masih
mengenal wajah keibuan itu.
“Sillyehapnida[54],
apa benar anda ibu Zia?” tanya Luhan membungkukkan badan.
“Nde.
Apakah kau Xi Lu Han? Zia berkata, ia akan tetap mencintaimu sampai kapanpun.
Tolong jaga dia jika aku yang harus pergi lebih dulu. Tolong jaga Zia,” jelas
ibu Zia menangis.
“Aku akan selalu menjaganya. Itu
janjiku,” balas Luhan.
“Temui Zia sekarang. Dokter memvonisnya
hanya bisa bertahan dua bulan,” Luhan menganggukkan kepalanya mengerti. Tapi,
dua bulan? Ia tak menghiraukan pikirannya. Ia langsung menemui Zia di dalam
kamar rumah sakit itu.
Sosok yang selama ini dirindukannya kini
sedang tertidur pulas dengan wajah damainya. Mungkin perasaan seperti ini yang
dirasakan Zia saat melihat wajah tidur Luhan yang damai. Ia tetap cantik.
Meskipun rambutnya menipis dan kepalanya tertutup chikara karakter. Meskipun kulitnya putih pucat. Meskipun beberapa
lebam biru terlihat di tubuhnya. Tanpa sadar tangan Luhan terangkat. Ia
membelai pipi Zia lembut.
“Saranghae..”
bisiknya. Lalu Luhan mengambil surat untuk Zia yang ditulisnya saat ia akan
pergi ke Beijing. Diletakkannya surat itu di meja sebelah ranjang Zia.
“Aku akan selalu bersamamu dan selalu
mencintaimu. Saranghae.. maukah kau
menjadi yeojachingu-ku?”
***
Luhan kembali ke apartemennya. Ia
sedikit lega sudah menjenguk Zia, meskipun Zia tertidur. Ia lega sudah
‘memberikan’ suratnya pada Zia, ia berharap Zia akan membacanya. Luhan
merebahkan tubuhnya ke ranjang. Tanpa sadar bibirnya tertarik, ia tersenyum
lebar teriangat kenangan-kenangannya bersama Zia.
Hingga akhirnya ia teringat omongan ibu
Zia tadi saat ia ke rumah sakit.
‘Dokter memvonisnya hanya bisa bertahan
dua bulan’ dua bulan? Berarti, dua bulan lagi zia.. meninggal?
Itu tidak akan pernah terjadi. Tidak
boleh terjadi. Tiba-tiba smartphone
Luhan bergetar pelan.
“Yeobusseoyo?”
tanya Luhan.
“Luhan-ssi, maafkan aku. Zia meninggal..”
***
‘Hamkkehaetjiman japgo sipjiman son
naemilijiman. Neon meoreojyeoga
tteonajima geuttae naega itjanha yeogi. Eodi
isseulkka?’
‘Kita
akan selalu bersama, aku akan terus berpegang padamu, kuulurkan tangan ini,
tapi kau pergi menjauh. Tolong jangan tinggalkan aku, aku bagian dari masa
lalumu ada di sini. Dimana kau berada?’
-EXO,
Peter Pan-
Luhan menekuri langit dengan seksama.
Mencoba menggali ingatannya pada langit malam. Berharap bintang-bintang akan
melukiskan sosok itu di sana.
Yang kini melihatnya dari balik awan
tebal yang menggantung.
‘Kenapa kau meninggalkanku? Apa kau
membalasku karena aku tidak mengatakan kepergianku ke Beijing? Tapi aku hanya
beberapa hari di Beijing. Kau? Kau selamanya pergi meninggalkanku. Eotteokhaeya[55]?’
***
6
years ago..
‘Nalgeun ilgijang meonjireul teoreonae
mundeuk pyeolchin got geu sogen haemarkge. Nega isseo ajik neon geudaero yeogi namaisseo. Itgo jinaetdeon geurimi tteolla jogeun tteollimi nae mome saemsosa.
Jom seogeul peugin hae geuttaero doragal
su eomneun ge.’
‘Kubuka
buku catatan yang sudah usang ini, halaman yang terbuka. Dan masih terlihat
jelas, gambaranmu di sana. Bergetar tubuh ini, saat memori tentangmu yang
selama ini kulupakan kembali menyapa. Ini sungguh menyedihkan, karena aku tidak
bisa kembali ke masa itu.’
-EXO,
Peter Pan-
Sinar matahari hangat itu masih seperti
enam tahun yang lalu. Saat Luhan masih membawa tas ransel hitam di pundaknya,
yang masih menggenggam iPod untuk mendengar lagu, yang masih saja bernyanyi
kecil melewati pagi.
Kini ia sudah dewasa. Ia sudah bergabung
dengan sebuah boyband tersukses tahun
ini, EXO. Grupnya saat itu mengadakan fanmeeting
di Hongdae[56],
Seoul. Luhan dan teman satu grupnya masih bersiap-siap untuk menemui fans-fans-nya.
“Luhan Hyung[57],”
panggil Tao yang duduk di belakang Luhan. Luhan menoleh.
“Nde?”
tanya Luhan.
“Tadi aku menemukan ini di depan dorm. Semua member tidak tahu ini milik
siapa. Mungkin ini milikmu?” tanya Tao menyodorkan sebuah buku catatan
bersampul hijau tua. Dengan tulisan kasat mata dengan tinta hitam di bawahnya,
‘Peter Pan’.
Persis dengan catatan milik Luhan enam
tahun lalu. Luhan mengambil buku catatan di tangan Tao. “Ini milikku enam tahun
lalu,”
***
Luhan meletakkan buku catatan usang itu
di atas meja. Tangannya mengusap sampul buku itu perlahan. Seingatnya, buku itu
hilang setelah Luhan pulang ke Beijing untuk melupakan Zia. Ia begitu shock mendengar berita tentang Zia.
Ia bahkan tidak tahu apa Zia sempat
membaca surat darinya atau tidak. Perlahan Luhan membuka buku itu. Tepat
terbuka di halaman pertama. Yang bertuliskan Hangeul dan Hanja dengan
arti yang sama, Xi Lu Han.
Luhan membuka halaman selanjutnya. Masih
terlukis dengan jelas gambarannya di sana. Dengan eye smile sempurnanya. Sesosok sempurna yeoja itu masih tergambar dengan jelas sejak enam tahun lalu.
Tangan Luhan mengusap pelan gambar sesosok yeoja
itu.
“Neoneun
Wendy Cinderella-boda yeppeotji..” gumam Luhan pelan. Tiba-tiba kenangannya
bersama Zia kembali menyapa memorinya. Ia kembali membaca tulisan-tulisannya
tentang Zia.
Hingga gerakan tangannya terhenti pada
halaman terakhir catatannya. Yang bertuliskan..
‘Uri
yaegin kkeuchi anil geoya. Dasi
mannabol tenikka[58]..’
***
‘Sigye taeyeopdoneun
sai eolmana dallajyeosseulkka. Neol sseonaeryeogan majimak han jongeul neomgyeotjiman deo. Ilgonael yeonggiga anna seulpeun geureun
jiwonael geoya. Uri yaegin kkeuchi
anil geoya. Dasi mannabol tenikka..’
‘Berapa
banyak kau berubah seiring berputarnya sang waktu. Aku sampai pada halaman
terakhir tulisan tentangmu. Tetapi aku tidak berani untuk membacanya kembali,
akan kuhapus semua kalimat sedih. Cerita kita tidak akan pernah berakhir.
Karena kita akan bertemu kembali..’
-EXO,
Peter Pan-
[1] Laki-laki (informal) (Bahasa
Korea)
[2] Partikel konsonan untuk
memanggil nama orang dengan sopan (formal)
[3] Guru Lee (formal). Seongsaenim = guru
[4] Iya, ya (formal)
[5] Perempuan (informal)
[6] Halo (formal)
[7] Namaku Xi Lu Han (formal)
[8] Namaku Zia Lim (formal)
[9] Ayo, mari (informal)
[10] Salah satu distrik di Seoul.
Yang terkenal dengan pantainya yang indah. Karena terletak di pesisir Korea.
[11] Senang bertemu dengan kalian
(formal)
[12] Benar? Sungguh? (formal). Jinjja = informal
[13] Terima kasih (formal)
[14] Paling muda, imut (sebutan
doang) (informal)
[15] Tidak (informal)
[16] Salah satu distrik terkenal di
Seoul. Yang terkenal karena banyak rumah Kpop
idol yang terdapat di sini.
[17] Salah satu distrik terkenal di
Seoul. Yang terkenal karena Kyuhyun Super Junior dilahirkan di sini.
[18] Baiklah (informal)
[19] Di Korea kalau menyebut tanggal
dimulai dari tahun, bulan, lalu tanggal.
[20] Tentu saja (informal)
[21] Tahu? (informal)
[22] Sebutan ‘kakak’ untuk
menunjukkan persaudaraan atau kedekatan dari perempuan ke laki-laki yang lebih
tua.
[23] Apa? (informal)
[24] Hei!! (informal)
[25] Nona (formal)
[26] Terima kasih (formal)
[27] Sama-sama, terima kasih kembali
(formal)
[28] Bagiku kau lebih cantik dari
Wendy atau Cinderella (translate of EXO
– Peter Pan)
[29] Huruf Korea yang ditemukan pada
zaman pemerintahan Raja Sejong.
[30] Sebutan Korea untuk huruf
Mandarin.
[31] Satu, dua, tiga! (informal)
[32] Kenapa? (formal)
[33] Partikel konsonan untuk
memanggil nama orang yang berakhiran huruf konsonan (formal)
[34] Terima kasih (informal)
[35] Maafkan aku (informal)
[36] Tidak apa-apa (informal)
[37] Aku akan selalu bersamamu dan
selalu mencintaimu, meski canggung kadang menyapaku (translate of Peter Pan – EXO)
[38] Aku akan selalu menjadi Peter
Pan-mu, lelaki yang berhenti di tengah waktu.. (translate of Peter Pan – EXO)
[39] Aku mengerti (formal)
[40] Maaf (formal)
[41] Tidak apa-apa (formal)
[42] Terima kasih (formal)
[43] Halo? (formal). Untuk telepon
[44] Ibu (informal)
[45] Pacar perempuan (informal)
[46] Partikel konsonan untuk
memanggil nama orang yang berakhiran huruf
vokal (formal)
[47] Aku benar-benar minta maaf
(informal)
[48] Aku mencintaimu (informal)
[49] Topi dengan model karakter
kartun atau hewan. Yang sekarang banyak dipakai Kpop idol untuk ‘airport style’
atau saat konser.
[50] Sayangku (informal)
[51] Benarkah? (informal)
[52] Jangan menangis (informal)
[53] Salah satu distrik terkenal di
Seoul. Terkenal karena banyak sekali klinik operasi plastik di jalanan ini. Dan
juga pernah ‘dipromosikan’ oleh penyanyi PSY dalam lagunya yang berjudul ‘Gangnam Style’
[54] Permisi (formal)
[55] Apa yang harus kulakukan? /
Bagaimana ini? (formal)
[56] Salah satu distrik terkenal di
Seoul yang terkenal dengan sebutan ‘jalanan anak muda’
[57] Sebutan ‘kakak’ dari lelaki ke
lelaki yang lebih tua.
[58] Cerita kita tidak akan pernah
berakhir. Karena kita akan bertemu kembali.. (translate of Peter Pan – EXO)
Komentar
Posting Komentar