[FANFICT] Peterpan (a song by EXO)

Title                 : Peter Pan (A song by EXO)
Author             : Nad @donadkacang
Type                : General
Length             : oneshoot, long story
Genre              : Romance, fantasy, friendship, angst
Cast                 :
-          Zia Lim (OC)
-          Xi Lu Han (EXO M)
-          Bae Suzy (Miss A)
-          Hwang Zi Tao (EXO M)
-          Find it

Playlist            : EXO – Peter Pan
Summary         :
Uri yaegin kkeuchi anil geoya.. dasi mannabol tenikka..” – EXO, Peter Pan
“Cerita kita tidak akan pernah berakhir.. karena kita akan bertemu lagi..” –EXO, Peter Pan

Terbang bersama Tinkerbell, akan kutemui dirimu di Neverland bersama semua kenangan ini. Di tempat itu, dimana kita bisa kembali saling memandang dan tersenyum. Aku akan menjadi Peter Pan-mu, lelaki yang berhenti di tengah waktu. Aku akan selalu mencintaimu, meski canggung kadang menyapaku.
(Indonesian Translate of EXO – Peter Pan)


Matahari mulai menyapa langit dengan lembut. Menyapu tiap sudut sepi dan ramai kota Seoul. Menerpakan sinar lembutnya pada setiap orang, tak terkecuali seorang namja[1] yang berjalan santai sendirian itu. Sambil sesekali mengganti playlist lagu di iPod genggamannya.
Ia bernyanyi kecil melewati pagi. Sesekali tas ransel hitam di pundaknya bergeser sedikit dari bahu tegaknya. Yang mengikuti irama lagu.
Namja itu adalah Luhan, Xi Lu Han. Seorang murid pertukaran pelajar dari kota asalnya, Beijing, Cina, ke Seoul, Korea Selatan. Sepatu olahraga hitam putihnya melangkah tegas di antara koridor sekolahnya di Seoul.
Sudah dua bulan ia bersekolah di sini. Kini ia tak lagi menjadi murid pertukaran pelajar, ia sudah pindah sekolah ke Seoul dan menetap di sini. Walaupun sesekali pulang mengunjungi keluarganya di Beijing.
“Luhan-ssi[2]..” panggil seseorang dari belakang Luhan. Luhan menghentikan langkahnya lalu berbalik. Ternyata wali kelasnya, Lee Seongsaenim[3] yang memanggilnya.
Nde[4], Seongsaenim?” tanya Luhan.
Nde, tolong kau tunjukkan dimana kelas Zia. Kelasmu juga. Perkenalkan dia pada semua murid. Dan.. tunjukkan tempat duduknya di kelas,” pinta Lee Seongsaenim. Luhan mengangguk kecil dan sedikit membungkukkan badan.
Nde, Seongsaenim,” balas Luhan. Di sekolah itu, Luhan mulai murid yang populer. Selain karena ia murid yang pintar, beberapa waktu lalu ia juga menunjukkan bakat menyanyi dan menarinya saat perpisahan murid pertukaran.
Luhan melirik yeoja[5] itu sekilas, niatnya. Tapi matanya tak bisa lepas dari matanya. Kenapa? Lee Seongsaenim lalu meninggalkan mereka. Kedua orang itu hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Annyeong haseyo[6]. Xi Lu Han imnida[7],” suara Luhan memecah keheningan.
Nde, annyeong haseyo. Zia Lim imnida[8],” balas Zia, yeoja itu.
Kajja[9], kutunjukkan dimana kelasnya,” kata Luhan berjalan mendahului Zia.
Perlahan Luhan dapat merasakan, jantungnya berdetak kian cepat. Oh, ini aneh. Luhan tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Jika berjalan bersama atau berdekatan dengan yeoja –siapa pun itu, Luhan merasa biasa saja. Tapi sekarang? Kenapa seperti ini?
Luhan menghela nafas pelan mencoba menghilangkan pikiran anehnya. Mengalihkan perhatiannya. Apa ini.. suka?
***
“Ini kelasmu. Dan.. kelasku juga di sini,” kata Luhan seperti guide.
“Kelihatannya aku akan betah di sini,” balas Zia. Luhan tersenyum kecil, walaupun ia tahu Zia berbasa-basi.
“Baguslah kalau begitu. Teman-teman, di kelas kita akan ada murid baru,” kata Luhan pada Zia lalu pada murid lain di kelasnya. Semua mata langsung tertuju pada Zia. Kelas yang tadi berisik, kini hening.
Annyeong haseyo. Zia Lim imnida. Aku pindahan dari Busan[10]. Bangapta sseumnida[11],” kata Zia memperkenalkan diri dan membungkukkan badan.
“Eng.. sekarang kau bisa memilih tempat dudukmu,” kata Luhan. Sedangkan ia tidak menyadari, semua bangku sudah penuh kecuali bangkunya. Luhan memang duduk sendirian.
“Kenapa bangku itu kosong?” tanya Zia menunjuk bangku Luhan. Luhan menatap bangku yang ditunjuk Zia.
“Itu bangkuku. Aku duduk sendirian. Kau di sana saja,” jawab Luhan.
Jinjjayo[12]? Gomapda[13]~” Zia berjalan riang menuju bangku Luhan. Dan Luhan mengikutinya dengan jarak radius dua meter. Luhan tidak ingin ‘jatuh cinta’ dengan yeoja yang mempunyai terlalu banyak energi ini. Tapi.. sebangku dengannya?
Entah Luhan sadar atau tidak, ingat atau tidak. Ia tadi mengatakan bahwa Zia duduk bersamanya saja. Mendadak Luhan jadi membenci dirinya sendiri. Akhirnya Luhan dan Zia duduk berdampingan. Dengan suasana canggung yang makin menjadi.
Dengan jantung Luhan yang berdetak keras tak cepat berhenti. Dengan Zia yang terus saja bersemangat bertanya pada seisi kelas. ‘Siapa namamu? Bla bla bla?’ pada yeoja atau namja yang duduk di sekitarnya.
Mungkin Zia tidak terlalu ‘berani’ bertanya ini itu pada Luhan. Zia adalah orang yang sangat perasa. Mungkin ia harus memikirkan kata-katanya baik-baik jika akan berbicara dengan Luhan. Tapi.. kenapa ia malah merasa.. Luhan membencinya? Padahal, kan, Luhan yang memintanya untuk duduk di bangku Luhan?
Awalnya Zia merasa Luhan adalah namja yang seperti dirinya. Susah diatur dan memiliki banyak energi. Tapi ternyata, namja yang memiliki wajah maknae[14] itu seorang yang terlalu ‘menjaga energi’nya. Luhan selalu diam dan tidak bicara banyak, menurut Zia, itu yang dinamakan ‘menyimpan energi’.
Sangat berbalik dengan wajahnya yang sangat-sangat cute di mata Zia.
“Eng.. Luhan-ssi?” panggil Zia perlahan. Luhan menoleh pada Zia. “Nde?”
“Kau tahu, kan.. tadi. Aku sudah mengingat biodata murid-murid sekelas. Sekarang.. boelh aku bertanya ini itu padamu? Kau tidak terganggu, kan?” cerocos Zia.
Ani[15]. Aku tidak terganggu. Memang kau mau bertanya apa?” balas Luhan. Zia tersenyum lebar. Akhirnya ia menang.
“Namamu Xi Lu Han, kan?” Luhan mengangguk.
“Rumahmu dimana?” tanya Zia lagi. “Di.. Beijing. Aku pindahan dari Cina. Sekarang rumahku di Apgujeong[16]. Kau?” jawab Zia.
“Wah.., tumben sekali aku kembali ditanya. Sekarang rumahku di daerah Nowon[17],” jawab Zia.
“Ada yang ingin kau tanyakan lagi?” kata Luhan.
Eoh? Eum.. keoreom[18]. Kapan tanggal lahirmu?” tanya Zia.
“1990 bulan April tanggal 20[19]. Kau? Lebih muda atau lebih tua dariku?” jawab Luhan. Zia terkekeh pelan.
Arasseo[20] aku lebih muda darimu. Tanggal lahirku 1991 bulan Maret tanggal 26,” balas Zia.
“Hanya selisih satu tahun. Kau termasuk tua, arra[21]?” canda Luhan.
“Bagaimana jika aku.. memanggilmu.. Oppa[22]? Luhan Oppa?” tawar Zia tersenyum.
Mwo[23]? Oppa?” tanya Luhan tak percaya. Seingatnya tentang bahasa Korea.. jika seorang yeoja memanggil seorang namja dengan sebutan ‘oppa’, bukannya ada hubungan spesial yang mengikat mereka berdua?
Saat Zia menatap Luhan penuh harap dan Luhan menatap Zia bingung, masih mencoba mencerna omongan Zia.
Ya[24]!! Lee Seongsaenim datang!”
***
Bel tanda istirahat langsung memporak porandakan kelas XII itu. Murid-murid langsung menyerbu kafetaria sekolah. Hanya tinggal beberapa murid yang ‘tersisa’ di kelas. Salah satunya Luhan dan Zia. Luhan mulai beranjak dari bangkunya.
“Kau tidak keluar kelas? Atau kau mau ikut aku ke perpustakaan sekolah?” tawar Luhan. Kalimat terakhir itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Zia tak menjawab, ia bangkit dari duduknya. Berjalan mengikuti Luhan. Ia tak ingin mensejajarkan langkahnya dengan Luhan. Ia takut detak jantungnya yang kini berantakan akan terdengar oleh Luhan.
Koridor itu seakan tak berujung. Entah kenapa saat itu yang notabene waktu istirahat, sangat sepi. Hanya terdengar suara langkah Luhan dan Zia yang menggema.
Hingga akhirnya langkah Luhan terhenti di depan pintu raksasa perpustakaan sekolahnya. Tangan Luhan terangkat mendorong pintu itu. Dalam hati Zia menebak-nebak. Apa Luhan akan menahan pintu itu –membukakan pintu- untuknya atau tidak. Dan akhirnya.. tangan Luhan menahan pintu itu.
Di beberapa detik awal, Zia masih menatap Luhan dengan tatapan tidak percaya. Hingga akhirnya ia memasuki perpustakaan sambil berkata pelan, “gomapda”. Dalam hati Zia berteriak kegirangan (baca : fangirling).
Suasana di dalam perpustakaan sepi, sangat sepi jika diperhatikan. Hanya ada seorang librarian perempuan dan beberapa murid. Perpustakaan memang bukan ‘tongkrongan’ murid sekolah Luhan. Kecuali mereka yang benar-benar nerd.
“Aku mau ke bagian matematika dulu. Berkelilinglah,” bisik Luhan. Zia mengangguk salah tingkah. Ia tetap mematung di tengah jalan. Menatap punggung Luhan yang semakin menjauh.
Ya! Agasshi[25]!! Jangan berdiri di tengah jalan begitu!” bisik seorang librarian dari tempatnya. Zia menoleh kaget.
“Ah, nde!” balas Zia mengangguk cepat. Lalu membungkukkan badannya 90 derajat. Ia lalu berlari kecil menuju rak buku fisika, pelajaran yang amat dibencinya. Demi menghindar dari librarian galak itu. Zia mengedarkan pandangannya.
‘Dimana Luhan?’
***
“Luhan-ssi..” panggil librarian galak itu lembut. “Nde, Seongsaenim?” balas Luhan. Ia memanggil librarian galak itu dengan sebutan ‘seongsaenim’ atau guru karena librarian itu pernah menjadi gurunya.
“Apa buku ini milikmu? Aku melihat ini terjatuh kemarin dari tasmu, saat kau di sini. Apa ini milikmu?” tanya librarian galak itu menyerahkan sebuah buku catatan berwarna hijau tua gelap. Yang bertuliskan ‘Peter Pan’ dengan tinta hitam. Yang hampir kasat mata.
“Ah, nde. Kamsahamnida[26], Seongsaenim. Aku kemarin mencari ini seharian. Kamsahamnida, Seongsaenim,” kata Luhan menerima buku itu.
Nde, cheonmaneyo[27]. Lain kali ceklah dulu barang-barangmu,” balas librarian itu yang entah kenapa menjadi sangat lembut di hadapan Luhan. Zia yang melihat kedua orang itu dari jauh hanya bergidik ngeri.
Nde, Seongsaenim,” suara lembut Luhan kembali terdengar.
***
Matahari sudah kembali dari peraduannya. Berganti dengan bulan purnama yang sudah siap menempati singasana langit. Luhan masih menekuri buku catatan itu dari beberapa jam lalu. Ia menggoreskan pensilnya, membentuk sebuah guratan sempurna, ia tersenyum puas. Jika terbentuk guratan yang tidak bagus di matanya, diusapkannya penghapus dengan hati-hati pada kertas catatan itu.
Sesekali ia menatap langit yang malam itu penuh bintang. Seakan terlukis wajah’nya’ di sana. Dengan wajah eye smile-nya yang sempurna, menurut Luhan. Gambaran sempurna seorang yeoja.
Mata Luhan yang manyapu kamarnya berhenti di atas ranjangnya. Ada sebuah buku bersampul hijau muda tergeletak di sana. Ada tulisan –judul buku itu- tercetak jelas di sana, ‘Peter Pan’. Luhan menekuri catatannya kembali.
Neoneun Wendy Cinderella-boda yeppeotji[28]..” gumam Luhan tersenyum. Bagi Luhan yeoja itu memang lebih cantik dari Wendy (tokoh perempuan yang nantinya jadi cinta sejati Peter Pan, dalam dongeng Peter Pan) ataupun Cinderella.
Sebagai penyuka dongeng seperti itu, wajar saja Luhan membandingkan gambarannya dengan Wendy. Luhan mengambil pensilnya kembali dan menggoreskan Hangeul[29] yang ada dipikirannya.
Neoneun Wendy Cinderella-boda yeppeotji..’ tak lupa dengan tulisan Hanja[30] dengan arti yang sama. Dan menambahkan tulisan kecil di bawahnya.
‘Zia Lim’
***
Jam pelajaran memulai sekolah Luhan. Ia telah bersiap dengan murid-murid lainnya. Untuk memulai lari estafet, yang diadakan tes lari estafet pada hari itu. Luhan menyapu pandangan pada baris sebelahnya.
Ada Zia yang menatap lapangan dengan antusias. Zia tepat berada di sebelahnya, berarti nanti Luhan akan bertanding melawan Zia. Melihat senyum Zia yang bertambah lebar, Luhan tanpa sadar menyeletuk.
“Kelihatannya kau bahagia sekali? Padahal banyak anak yang tidak menyukai pelajaran olahraga,” celetuk Luhan. Zia menoleh, merasa Luhan bicara padanya.
“Sudah lama aku tidak mengikuti pelajaran olahraga. Entah kenapa aku jadi bersemangat sekali,” balas Zia.
“Tidak mengikuti pelajaran olahraga? Memangnya sekolah di Busan tidak ada materi olahraga?” tanya Luhan tidak percaya.
“Bukan begitu. Aku jarang mengikuti pelajaran olahraga karena aku..” belum sempat Zia menyelesaikan kata-katanya, guru olahraga mereka sudah datang dan menyuruh mereka bersiap-siap.
Hana, dul, set[31]!” Choi Seongsaenim meniup peluit merahnya. Barisan terdepan yang sudah mengambil ancang-ancang mulai berlari mengejar finish.
Yeay! Akhirnya aku menang!” sorak Zia di garis finish. Ia lebih dulu sampai di garis finish daripada Luhan. Luhan tersenyum melihat teman dekatnya bahagia.
Namun lama-lama senyumnya memudar. Ia melihat setetes cairan kental berwarna merah tua kecoklatan dari hidung Zia.
Waeyo[32]?” tanya Zia bingung dengan perubahan ekspresi Luhan.
“Hidungmu.. mengeluarkan darah.. kau.. mimisan!” kata-kata Luhan terputus-putus. Kakinya tiba-tiba semakin lemas, padahal Zia lah yang mimisan. Tangan Zia bergerak pelan menyentuh cairan hangat di bawah hidungnya. Merah kecoklatan. Darah.
“Aaaakkhhh!!” teriak Zia histeris. Ia tak sadarkan diri ditempat.
***
Zia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ia masih saja belum siuman. Jika dihitung-hitung, Zia sudah tak sadarkan diri tiga jam. Dan selama itu masih ada Luhan yang setia menungguinya di sampingnya. Dengan tangannya yang menggenggam tangan Zia.
Lee Seongsaenim berkali-kali mendatangi mereka, mungkin hanya Luhan, untuk menyuruh kembali mengikuti pelajaran di kelas. Tapi Luhan tetap kukuh untuk menemani Zia yang masih tak sadarkan diri. Hingga mereka tak menyadari, banyak suster yang membicarakan Luhan dan Zia. Irilah, romantislah, bermacam-macam.
Akhirnya kelopak mata Zia terbuka pelan-pelan. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Mencoba menyesuaikan pencahayaan di matanya.
“Luhan-ah[33]..” gumam Zia bingung. Ia melihat Luhan yang tertidur pulas di kursi sebelah ranjang yang ditempatinya. Zia tidak perlu bingung ia dimana. Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menyengat, Zia sudah hafal ini rumah sakit.
Tangannya digenggam Luhan. Tunggu, Luhan menggenggam tangannya? Ia menatap wajah damai Luhan saat tertidur. Ia tersenyum tipis.
“Wajahnya sangat cute jika bicara. Tapi ia juga damai saat tidur. Benar-benar namja yang lucu,” gumam Zia. Tanpa sadar tangan kanan Zia terangkat. Membelai pipi Luhan pelan. Tanpa Zia sadari, sentuhannya membuat Luhan tersadar dari tidurnya.
Eoh? Kau sudah bangun?” tanya Luhan melihat tangan Zia yang buru-buru ditarik.
Nde.. beberapa menit lalu,” jawab Zia salah tingkah.
Gumawo[34]..” lanjut Zia, ia lalu melirik tangan kirinya yang masih digenggam Luhan. Luhan mengikuti arah lirikan Zia, tepat di genggamannya! Dengan salah tingkah Luhan melepas genggaman tanganya.
Mianhae[35],” kata Luhan.
Gwaenchana[36], tanganmu hangat. Aku suka,” balas Zia.
Eoh?” Luhan kebingungan melihat Zia yang tiba-tiba mengambil tangannya dan meletakkan tangan Luhan ke pipinya.
“Teruslah seperti ini. Jangan pergi dariku,”
***
Buku catatan hijau tua itu terbuka kembali. Pada malam dan bulan yang sama, pada hati yang berbeda. Luhan menulis Hangeul-hangeul yang ada di pikirannya. Bisa jadi Luhan mulai menjadikan catatan itu diary-nya.
Luhan menuliskan kejadian pagi tadi saat Zia pingsan, hingga Zia mengatakan hal-hal yang membuat jantung Luhan berdetak keras.
‘Teruslah seperti ini. Jangan pergi dariku,’, kata-kata Zia tadi siang tetap tergiang-ngiang di kepala Luhan. Bayangan Zia silih berganti menyapa Luhan.
“Aku akan selalu bersamamu dan selalu mencintaimu. Mana mungkin aku pergi meninggalkanmu?” kata Luhan pelan. Luhan mengambil penanya, lalu menuliskan kalimat-kalimat di pikirannya.
Seotuljiman neomu saranghaetdeon neoui neoege danyeoga[37]..’ dan dengan Hanja yang sama. Luhan menutup buku catatannya. Ia lalu mengambil buku dongeng ‘Peter Pan’-nya.
Nan yeongwonhan neoui Peterpan. Geu sigane meomchun ne namja..[38]
***
Mata Luhan terus menatap pintu kelasnya. Berharap ‘yeoja itu’ membuka pintu itu dan menunjukkan eye smile sempurnanya.
Tapi, hingga bel masuk berbunyi, yeoja yang ditunggunya belum juga datang.
“Luhan-ssi?” Lee Seongsaenim tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
Nde, Seongsaenim?” tanya Luhan.
“Aku tahu kau adalah teman dekat Zia. Maafkan aku soal kemarin. Selalu mendatangimu. Tapi aku tidak ingin kalian berpacaran di tempat seperti itu, rumah sakit. Aku tidak tahu kalian sudah berpacaran atau tidak, tapi aku tidak ingin begitu,” kata Lee Seongsaenim.
Luhan menggangguk sopan.
Nde, algesseumnida[39], Seongsaenim,” balas Luhan.
“Dan.. hari ini Zia tidak masuk. Ia sakit. Kuharap kau bersedia mencatatkan pelajaran hari ini untuknya. Kau mau, kan?” tanya Lee Seongsaenim. ‘Zia sakit?’
“Ia di rumahnya?” Luhan kembali bertanya.
Nde, ia dirawat di rumahnya,” jawab Lee Seongsaenim.
Keoreom, Lee Seongsaenim. Aku akan mencatatkan pelajaran untuknya,”
***
Selama pelajaran Luhan tak dapat lagi berkonsentrasi. Ia malah menyontek catatan temannya untuk Zia. Hingga bel pulang sekolah berbunyi, ia murid pertama yang meninggalkan kelas. Padahal biasanya ia menunggu semua temannya keluar kelas. Ia langsung menuju rumah Zia. Dari alamat yang diberikan Lee Seongsaenim.
“Ding! Dong!” Luhan memencet bel rumah besar bercat putih itu hati-hati. Sambil berharap yang membukakan pintu untuknya adalah Zia.
Tapi, tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membuka pintu untuk Luhan.
Annyeong haseyo..” sapa Luhan membungkukkan badan.
Nde, annyeong haseyo. Mianhaeyo[40], kau siapa, nde?” tanya wanita paruh baya itu. Kalau Luhan boleh menebak, apa ini ibu Zia?
“Xi Lu Han imnida. Apakah benar ini rumah Zia Lim?” tanya Luhan.
Nde, aku ibunya,” jawab wanita itu. Luhan benar, itu ibunya.
“Saya teman sekelas Zia. Saya mau memberikan catatan pelajaran hari ini. Karena ia tidak masuk. Kata Lee Seongsaenim, Zia sakit. Jadi saya ingin memberikan catatan ini pada Zia,” cerita Luhan. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Duduklah dulu, Luhan-ssi. Akan kupanggilkan Zia,” kata wanita paruh baya itu mempersilahkan Luhan.
Kamsahamnida,” Luhan lalu mengekor wanita paruh baya itu. Lalu ia duduk setelah dipersilahkan wanita itu kembali. Luhan menunggu ibu Zia memanggilkan Zia untuknya. Ia berharap, semoga Zia mau menemuinya.
“Luhan-ssi, mianhae. Kata Zia, ia kembali pusing. Ia juga perlu banyak istirahat,” tiba-tiba ibu Zia kembali dari lantai dua rumahnya dengan raut wajah menyesal. Luhan lalu berdiri, berusaha sesopan mungkin dengan ibu Zia.
“Ah, gwaenchanayo[41]. Kalau begitu saya menitipkan ini untuk Zia. Semoga cepat sembuh,” balas Luhan menyerahkan buku catatan pelajaran hari ini.
Gumawoyo[42], Luhan-ssi. Zia tadi juga menitipkan ini untukmu. Katanya, kau buka di rumah saja,” ibu Zia bergantian memberikan Luhan secarik surat. Luhan menerima surat itu kebingungan.
Kamsahamnida. Kalau begitu, saya pamit dulu,” Luhan membungkukkan badannya.
Nde, gumawo sudah menjenguk Zia dan catatannya,” balas ibu Zia. Luhan baru meninggalkan halaman rumah Zia saat ibu Zia sudah menutup pintu rumahnya. Rasa lega terbersit di hatinya. Setidaknya ia pernah menolong Zia selain saat Zia pingsan kemarin.
Luhan menatap surat dari ibu Zia di tangan kirinya. Ada tulisan yang hampir kasat mata di depannya. Luhan mendekatkan surat itu ke matanya agar bisa mempermudah ia membaca tulisan itu.
Just opened at your home, Xi Lu Han J’ tulisan tangan Zia. Luhan tersenyum kecil mengerti maksud Zia.
‘Kau selalu tahu jika aku selalu penasaran denganmu,’ batin Luhan tersenyum.
***
Luhan langsung melemparkan tasnya sembarangan. Ia membanting tubuhnya ke ranjang. Lalu membuka surat dari Zia.
Dear Xi Lu Han ;) ,
Aku menulis ini pagi-pagi. Hari ini aku sudah berencana tidak bersekolah. Sejak aku mimisan kemarin, aku selalu merasa sakit. Hingga aku menulis ini, sudah ada beberapa lebam biru di tanganku. Entah kenapa, rambutku mulai rapuh. Kusentuh sedikit, banyak sekali yang rontok. Aku tidak mengerti semua ini J.
Jika kau sudah membaca ini, kau ke rumahku. Aku sudah merasakan kau akan ke rumahku. Tidak tahu untuk apa, hanya perasaanku saja. Aku tidak mau menemuimu. Aku malu. Aku tidak mau kau melihatku yang kurus pucat, yang rambut hitam tebalku kini tipis karena rontok.
Tapi, Luhan-ah, aku ingin kau tahu satu hal. Sejak pertemuan pertama kita di koridor, saat kau mengantarku ke kelas, saat kita mengobrol tentang ‘oppa’ di kelas, saat istirahat di perpustakaan, saat pelajaran olahraga, saat aku pingsan, saat aku melihat wajah damai tidurmu, saat aku melihatmu menggenggam tanganku, itu semua kenangan yang indah untukku.
Dan baru kusadari, kini aku benar-benar mencintaimu. Aku hanya ingin kau tahu itu.
Kita tatap berteman, kan?
Aku akan mencintaimu sebagai sahabat.
-Zia Lim-

Luhan membaca ulang surat Zia. Mimisan.. lebam biru.. rambut rontok.. apakah Zia juga sering pingsan? Tunggu, bukankah itu cirri-ciri penyakit.. kanker darah? Leukimia?
Apakah Zia menderita kanker darah? Kenapa ia tak pernah memberitahunya? Apa Zia dilarang mengikuti pelajaran olahraga karena penyakitnya itu?
Tapi, Luhan membaca ulang kalimat-kalimat penutup surat itu.
“Zia menyukaiku?” gumam Luhan.
‘Ah, dia tak tahu jika aku menyukainya. Besok aku akan menyatakan perasaanku padanya,’ batin Luhan tersenyum. Ia melipat kertas di genggamannya. Lalu diletakkannya di atas meja. Tiba-tiba smartphone-nya bergetar pelan. Luhan lalu mengangkat telepon yang masuk ke smartphone-nya.
Yeobusseoyo[43]?” tanya Luhan.
“Xi Lu Han? Benar ini Xi Lu Han?” Luhan mengenali bahasa ini. Mandarin! Dan Luhan juga mengenali suara ini.
“Ayah?! Aku Xi Lu Han!” jawab Luhan.
“Luhan, pulanglah. Ibumu sedang sakit. Ia ingin kau pulang, nak,” jelas ayah Luhan. Ekspresi Luhan langsung berubah.
Eomma[44]..” gumam Luhan pelan.
“Hah? Kau bilang apa, Xi Lu Han? Aku tidak mengerti bahasamu! Cepat kau pulang, ya. Ibumu merindukanmu,” kata ayah Luhan.
“Iya, Ayah. Besok aku akan kembali ke Beijing. Aku juga merindukan Ayah dan Ibu,” Luhan memutus sambungan teleponnya. Sejenak bayangan Zia terlintas di benaknya.
‘Oh nde, bagaimana dengan Zia?’
***
Luhan telah siap dengan koper hitam di tangannya. Ia sedikit bingung saat di Incheon International Airport yang besar ini. Kemarin tidak sepadat ini, dua bulan lalu, saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di Korea Selatan.
Akhirnya Luhan duduk di salah satu kursi tunggu. 45 menit lagi pesawatnya take off. Ia membuka buku catatan hijau tuanya, menuliskan surat untuk Zia. Yang akan ia berikan sepulangnya dari Cina.
Dear Zia Lim,
Gumawo sudah mencintaiku. Kau tahu, aku sangat sedih membaca suratmu. Aku ingin kau cepat sembuh. Supaya kau bisa menemaniku lagi di sekolah.
Maaf, kini aku di Incheon, menunggu pesawat menuju Beijing. Maafkan aku tidak memberitahumu soal kepegianku ke Beijing. Eomma-ku sedang sakit. Dan kini aku sedang menunggu pesawat itu.
Kuulangi lagi sejak awal.
Aku menyukaimu. Aku juga menyukaimu.
Kau mau jadi yeojachingu[45]-ku?
-Xi Lu Han-

Luhan melipat kertas sobekan itu. Lalu melipatnya. Ia tersenyum kecil melihat lipatan kertas itu yang kini sudah berada dalam amplop.
“Ding.. ding.. ding.. ding! Perhatian perhatian. Pesawat *** Airlines bertujuan Beijing, Cina. 10 menit lagi akan take off. Dimohon para penumpan memasuki pesawat. Bla.. bla.. bla..” Luhan memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Ia lalu menarik koper hitamnya untuk meninggalkan Seoul, Korea Selatan.
Take care, Zia-yya[46]. Jeongmal mianhae[47]. Saranghae[48]..’
***
Matahari Seoul serasa membakar Zia. Menyalahkannya atas segala hal. Kini ia hanya dapat berbaring di ranjang rumah sakit. Tadi pagi ibunya langsung membawanya ke rumah sakit. Setelah ia pingsan dan semakin banyak lebam biru di tubuhnya.
Zia pun kini mulai memakai topi chikara[49] koleksinya untuk menutupi rambut tipisnya setelah kemotherapy kemarin, yang tanpa Zia sadari, saat Luhan menuliskan surat balasan untuknya di airport.
Eomma..” panggil Zia lemah pada ibunya yang terkadang menghapus air matanya yang tiba-tiba bergulir jatuh melihat Zia.
Nde, Chagi[50]? Kau mau apa? Eomma akan belikan,” jawab ibu Zia.
Ani, Eomma. Aku.. cuma ingin.. tolong teleponkan temanku. Aku ingin bertanya pelajaran,” kata Zia. Untuk kesekian kalinya ibunya menghapus air matanya. Putri semata wayangnya masih saja memikirkan sekolahnya daripada kesehatannya.
Nde, chagi. Eomma akan menelepon temanmu,”
***
Di waktu yang sama, di belahan bumi yang berbeda.
Entah apa yang kini dirasakan Luhan. Rasanya ia ingin berontak menyuruh  pilot pesawat itu untuk berbalik ke Korea Selatan. Rasanya ia tak ingin meninggalkan Seoul, mungkin Zia. Tapi untung masih ada safety belt yang menahannya untuk berontak. Jika tidak ada semua itu mungkin pesawat ini akan berhenti di tengah jalan.
Tapi itu terlambat. Itu kejadian beberapa jam yang lalu. Kini Luhan sudah menginjakkan kaki di negaranya. Ia sedikit celingukan bingung karena sudah lama ia tidak kembali ke Beijing.
Kini hanya ada dua orang terpenting dalam kehidupannya di pikirannya, ibunya, dan Zia.
***
“Zia-yya..” Zia menoleh. Ia tak mengenal suara ini. Sejak tadi ia mengharapkan suara Luhan di telinganya. Tapi yang terdengar malah suara seorang yeoja. Meskipun sedikit kecewa, Zia menyembunyikan itu dari Suzy, temannya yang di telepon ibunya.
Annyeong..” sapa Zia lemah.
“Zia-yya.. cepat sembuh, nde. Selama ini Luhan mencemaskanmu,” kata Suzy.
“Luhan? Kenapa?” tanya Zia.
“Saat kau tidak masuk, setiap pagi mata Luhan selalu tertuju pada pintu kelas. Dan saat kau tidak ada di sana, ia seperti kecewa. Kau mencarinya, kan? Ia di Cina. Ibunya sakit,” jelas Suzy panjang lebar.
Jeongmal[51]? Eoh? Di Cina? Kapan ia berangkat?”
“Kemarin. Ia bilang padaku untuk disampaikan padamu. Ia minta maaf tidak bisa menjengukmu. Ibunya sakit dan ingin Luhan segera pulang. Mungkin ia seminggu di sana,” Zia sedikit bingung. Rasa kecewanya sedikit menghilang.
‘Luhan mencemaskanku?’
“Suzy-yya, aku mau bertanya tentang pelajaran. Bukan tentang Luhan,”
***
Beberapa hari berlalu. Tanpa terasa sudah seminggu lebih Luhan di Beijing. Keadaan ibunya pun sudah membaik. Tiba-tiba Luhan ingin segera kembali ke Seoul.
Teringat surat yang ditulisnya untuk Zia.
“Ayah, Ibu, tolong biarkan aku kembali ke Seoul. Aku akan mengejar cintaku,”
***
Di dalam ruangan putih bersih itu. Seorang yeoja yang terbaring di ranjang menangis sesenggukan. Seorang wanita paruh baya di sampingnya juga menangis sambil menguatkan anak semata wayangnya.
Uljimma[52], chagiya. Uljimma. Ada Eomma. Umurmu masih panjang, nak,” kata wanita paruh baya itu. Anaknya yang terbaring di ranjang masih saja menangis.
Masih merasakan aura berita buruk yang disampaikan si dokter itu. Yang memvonis yeoja itu tinggal berumur dua bulan. Karena kemotheraphy yang jarang diikutinya. Yeoja itu, Zia, memang jarang mengikuti kemotheraphy.
Ia tajut banyak orang akan mengetahui penyakit yang sudah dideritanya dua tahun ini, Leukimia. Ia takut banyak orang yang mengetahui di balik senyum lebarnya, tingkah cerianya, hanya ada banyak lebam biru yang hanya bisa terbaring di ranjang.
Eomma..” panggil Zia lemah menahan tangan ibunya.
“Aku hanya mau minta maaf dan.. terima kasih. Mianhaeyo, atas tingkahku yang kekanak-kanakan selama ini. Dan.. kamsahamnida sudah menjadi wanita terbaik selama hidupku. Saranghae, Eomma..” wanita paruh baya itu kembali menangis.
Eomma.., tolong. Jika ada seorang namja bernama Xi Lu Han datang ke sini. Tolong katakan, aku akan tetap mencintainya sampai kapanpun,”
***
Luhan berjalan cepat mencoba menembus kepadatan rumah sakit elit di daerah Gangnam[53] itu. Koper hitamnya sedikit menyulitkannya. Sepulang dari Beijing, Luhan langsung menuju rumah sakit yang Zia dirawat inap di sana, yang diberitahu Suzy.
Kamar 203. Luhan melihat seorang wanita paruh baya duduk menangis tersedu di depan kamar itu. Ibunya Zia, Luhan masih mengenal wajah keibuan itu.
Sillyehapnida[54], apa benar anda ibu Zia?” tanya Luhan membungkukkan badan.
Nde. Apakah kau Xi Lu Han? Zia berkata, ia akan tetap mencintaimu sampai kapanpun. Tolong jaga dia jika aku yang harus pergi lebih dulu. Tolong jaga Zia,” jelas ibu Zia menangis.
“Aku akan selalu menjaganya. Itu janjiku,” balas Luhan.
“Temui Zia sekarang. Dokter memvonisnya hanya bisa bertahan dua bulan,” Luhan menganggukkan kepalanya mengerti. Tapi, dua bulan? Ia tak menghiraukan pikirannya. Ia langsung menemui Zia di dalam kamar rumah sakit itu.
Sosok yang selama ini dirindukannya kini sedang tertidur pulas dengan wajah damainya. Mungkin perasaan seperti ini yang dirasakan Zia saat melihat wajah tidur Luhan yang damai. Ia tetap cantik. Meskipun rambutnya menipis dan kepalanya tertutup chikara karakter. Meskipun kulitnya putih pucat. Meskipun beberapa lebam biru terlihat di tubuhnya. Tanpa sadar tangan Luhan terangkat. Ia membelai pipi Zia lembut.
Saranghae..” bisiknya. Lalu Luhan mengambil surat untuk Zia yang ditulisnya saat ia akan pergi ke Beijing. Diletakkannya surat itu di meja sebelah ranjang Zia.
“Aku akan selalu bersamamu dan selalu mencintaimu. Saranghae.. maukah kau menjadi yeojachingu-ku?”
***
Luhan kembali ke apartemennya. Ia sedikit lega sudah menjenguk Zia, meskipun Zia tertidur. Ia lega sudah ‘memberikan’ suratnya pada Zia, ia berharap Zia akan membacanya. Luhan merebahkan tubuhnya ke ranjang. Tanpa sadar bibirnya tertarik, ia tersenyum lebar teriangat kenangan-kenangannya bersama Zia.
Hingga akhirnya ia teringat omongan ibu Zia tadi saat ia ke rumah sakit.
‘Dokter memvonisnya hanya bisa bertahan dua bulan’ dua bulan? Berarti, dua bulan lagi zia.. meninggal?
Itu tidak akan pernah terjadi. Tidak boleh terjadi. Tiba-tiba smartphone Luhan bergetar pelan.
Yeobusseoyo?” tanya Luhan.
“Luhan-ssi, maafkan aku. Zia meninggal..”
***
Hamkkehaetjiman japgo sipjiman son naemilijiman. Neon meoreojyeoga tteonajima geuttae naega itjanha yeogi. Eodi isseulkka?’
‘Kita akan selalu bersama, aku akan terus berpegang padamu, kuulurkan tangan ini, tapi kau pergi menjauh. Tolong jangan tinggalkan aku, aku bagian dari masa lalumu ada di sini. Dimana kau berada?’
-EXO, Peter Pan-
Luhan menekuri langit dengan seksama. Mencoba menggali ingatannya pada langit malam. Berharap bintang-bintang akan melukiskan sosok itu di sana.
Yang kini melihatnya dari balik awan tebal yang menggantung.
‘Kenapa kau meninggalkanku? Apa kau membalasku karena aku tidak mengatakan kepergianku ke Beijing? Tapi aku hanya beberapa hari di Beijing. Kau? Kau selamanya pergi meninggalkanku. Eotteokhaeya[55]?’
***
6 years ago..
Nalgeun ilgijang meonjireul teoreonae mundeuk pyeolchin got geu sogen haemarkge. Nega isseo ajik neon geudaero yeogi namaisseo. Itgo jinaetdeon geurimi tteolla jogeun tteollimi nae mome saemsosa. Jom seogeul peugin hae geuttaero doragal su eomneun ge.’
‘Kubuka buku catatan yang sudah usang ini, halaman yang terbuka. Dan masih terlihat jelas, gambaranmu di sana. Bergetar tubuh ini, saat memori tentangmu yang selama ini kulupakan kembali menyapa. Ini sungguh menyedihkan, karena aku tidak bisa kembali ke masa itu.’
-EXO, Peter Pan-
Sinar matahari hangat itu masih seperti enam tahun yang lalu. Saat Luhan masih membawa tas ransel hitam di pundaknya, yang masih menggenggam iPod untuk mendengar lagu, yang masih saja bernyanyi kecil melewati pagi.
Kini ia sudah dewasa. Ia sudah bergabung dengan sebuah boyband tersukses tahun ini, EXO. Grupnya saat itu mengadakan fanmeeting di Hongdae[56], Seoul. Luhan dan teman satu grupnya masih bersiap-siap untuk menemui fans-fans-nya.
“Luhan Hyung[57],” panggil Tao yang duduk di belakang Luhan. Luhan menoleh.
Nde?” tanya Luhan.
“Tadi aku menemukan ini di depan dorm. Semua member tidak tahu ini milik siapa. Mungkin ini milikmu?” tanya Tao menyodorkan sebuah buku catatan bersampul hijau tua. Dengan tulisan kasat mata dengan tinta hitam di bawahnya, ‘Peter Pan’.
Persis dengan catatan milik Luhan enam tahun lalu. Luhan mengambil buku catatan di tangan Tao. “Ini milikku enam tahun lalu,”
***
Luhan meletakkan buku catatan usang itu di atas meja. Tangannya mengusap sampul buku itu perlahan. Seingatnya, buku itu hilang setelah Luhan pulang ke Beijing untuk melupakan Zia. Ia begitu shock mendengar berita tentang Zia.
Ia bahkan tidak tahu apa Zia sempat membaca surat darinya atau tidak. Perlahan Luhan membuka buku itu. Tepat terbuka di halaman pertama. Yang bertuliskan Hangeul dan Hanja dengan arti yang sama, Xi Lu Han.
Luhan membuka halaman selanjutnya. Masih terlukis dengan jelas gambarannya di sana. Dengan eye smile sempurnanya. Sesosok sempurna yeoja itu masih tergambar dengan jelas sejak enam tahun lalu. Tangan Luhan mengusap pelan gambar sesosok yeoja itu.
Neoneun Wendy Cinderella-boda yeppeotji..” gumam Luhan pelan. Tiba-tiba kenangannya bersama Zia kembali menyapa memorinya. Ia kembali membaca tulisan-tulisannya tentang Zia.
Hingga gerakan tangannya terhenti pada halaman terakhir catatannya. Yang bertuliskan..
Uri yaegin kkeuchi anil geoya. Dasi mannabol tenikka[58]..’
***
‘Sigye taeyeopdoneun sai eolmana dallajyeosseulkka. Neol sseonaeryeogan majimak han jongeul neomgyeotjiman deo. Ilgonael yeonggiga anna seulpeun geureun jiwonael geoya. Uri yaegin kkeuchi anil geoya. Dasi mannabol tenikka..’
‘Berapa banyak kau berubah seiring berputarnya sang waktu. Aku sampai pada halaman terakhir tulisan tentangmu. Tetapi aku tidak berani untuk membacanya kembali, akan kuhapus semua kalimat sedih. Cerita kita tidak akan pernah berakhir. Karena kita akan bertemu kembali..’
-EXO, Peter Pan-


[1] Laki-laki (informal) (Bahasa Korea)
[2] Partikel konsonan untuk memanggil nama orang dengan sopan (formal)
[3] Guru Lee (formal). Seongsaenim = guru
[4] Iya, ya (formal)
[5] Perempuan (informal)
[6] Halo (formal)
[7] Namaku Xi Lu Han (formal)
[8] Namaku Zia Lim (formal)
[9] Ayo, mari (informal)
[10] Salah satu distrik di Seoul. Yang terkenal dengan pantainya yang indah. Karena terletak di pesisir Korea.
[11] Senang bertemu dengan kalian (formal)
[12] Benar? Sungguh? (formal). Jinjja = informal
[13] Terima kasih (formal)
[14] Paling muda, imut (sebutan doang) (informal)
[15] Tidak (informal)
[16] Salah satu distrik terkenal di Seoul. Yang terkenal karena banyak rumah Kpop idol yang terdapat di sini.
[17] Salah satu distrik terkenal di Seoul. Yang terkenal karena Kyuhyun Super Junior dilahirkan di sini.
[18] Baiklah (informal)
[19] Di Korea kalau menyebut tanggal dimulai dari tahun, bulan, lalu tanggal.
[20] Tentu saja (informal)
[21] Tahu? (informal)
[22] Sebutan ‘kakak’ untuk menunjukkan persaudaraan atau kedekatan dari perempuan ke laki-laki yang lebih tua.
[23] Apa? (informal)
[24] Hei!! (informal)
[25] Nona (formal)
[26] Terima kasih (formal)
[27] Sama-sama, terima kasih kembali (formal)
[28] Bagiku kau lebih cantik dari Wendy atau Cinderella (translate of EXO – Peter Pan)
[29] Huruf Korea yang ditemukan pada zaman pemerintahan Raja Sejong.
[30] Sebutan Korea untuk huruf Mandarin.
[31] Satu, dua, tiga! (informal)
[32] Kenapa? (formal)
[33] Partikel konsonan untuk memanggil nama orang yang berakhiran huruf konsonan (formal)
[34] Terima kasih (informal)
[35] Maafkan aku (informal)
[36] Tidak apa-apa (informal)
[37] Aku akan selalu bersamamu dan selalu mencintaimu, meski canggung kadang menyapaku (translate of Peter Pan – EXO)
[38] Aku akan selalu menjadi Peter Pan-mu, lelaki yang berhenti di tengah waktu.. (translate of Peter Pan – EXO)
[39] Aku mengerti (formal)
[40] Maaf (formal)
[41] Tidak apa-apa (formal)
[42] Terima kasih (formal)
[43] Halo? (formal). Untuk telepon
[44] Ibu (informal)
[45] Pacar perempuan (informal)
[46] Partikel konsonan untuk memanggil nama orang yang berakhiran huruf  vokal (formal)
[47] Aku benar-benar minta maaf (informal)
[48] Aku mencintaimu (informal)
[49] Topi dengan model karakter kartun atau hewan. Yang sekarang banyak dipakai Kpop idol untuk ‘airport style’ atau saat konser.
[50] Sayangku (informal)
[51] Benarkah? (informal)
[52] Jangan menangis (informal)
[53] Salah satu distrik terkenal di Seoul. Terkenal karena banyak sekali klinik operasi plastik di jalanan ini. Dan juga pernah ‘dipromosikan’ oleh penyanyi PSY dalam lagunya yang berjudul ‘Gangnam Style
[54] Permisi (formal)
[55] Apa yang harus kulakukan? / Bagaimana ini? (formal)
[56] Salah satu distrik terkenal di Seoul yang terkenal dengan sebutan ‘jalanan anak muda’
[57] Sebutan ‘kakak’ dari lelaki ke lelaki yang lebih tua.
[58] Cerita kita tidak akan pernah berakhir. Karena kita akan bertemu kembali.. (translate of Peter Pan – EXO)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah yang Ada di Role Player

Guess I? /??

Holl'up!