Bahagia | NCT Taeil's birthday fict
Moon Taeil.
Siapa yang tak mengenalmu?
Hanya siswa yang paling menutup diri yang tidak mengenalmu. Atau siswa yang terlalu mengangkat dagu untuk peduli ada malaikat sepertimu di sini.
Aku sempat mengira, pertemuan saat itu adalah awal dari segalanya.
Yang ternyata hanyalah sebuah perkenalan bagi diriku. Tentang bagaiamana ternyata takdir semudah itu mempermainkan hidup. Hidup siapapun saja. Bukan hanya milikku, atau milikmu.
Ternyata kau yang kulihat langsung hanyalah sebuah perkenalan dari akhirnya, aku hanya bisa melihatmu melalui televisi.
***
Hari itu hari yang mendebarkan. Pengumuman kelulusan, sekaligus universitas.
Siapa yang tidak ingin diterima di universitas yang diinginkan? Sementara aku termasuk anak-anak yang sudah memilih suatu universitas. Meskipun orang tuaku awalnya tak menyetujui. aku akan tetap membuktikan jika aku bisa sendiri.
Dan jelas sekali. Aku gugup bukan main. Aku akan mendaftar universitas apalagi jika pilihanku tidak diterima.
"Halo, Ahra," aku menoleh. Senyuman yang sudah tak asing lagi. Moon Taeil.
Ia bukan teman sekelasku. Hanya satu angkatan. Dan saling mengenal hanya karena sama-sama mengikuti klub musik. Ia suka menyanyi, dan aku suka alat musik.
"Hei," balasku. Pemilik senyum tak asing itu duduk di sampingku. Turut membuka smartphone-nya. Membuka website sekolah.
"Aku mendaftar di universitas xxx. Bagaimana denganmu?" Taeil kembali buka suara.
"Kita mendaftar di universitas yang sama," jawabku. Mencoba menyembunyikan bunyi jantungku yang berdetak dua kali lebih keras. Siapa yang tidak senang bisa berada di satu universitas yang sama dengan Taeil.
"Kupikir kau sudah bisa meyakinkan orang tuamu?" tanya Taeil lagi. Aku lupa jika aku pernah menceritakan kesukaanku yang dilarang orang tuaku. Aku hanya menganggukkan kepala pelan. Tak yakin harus menjawab apa.
"2 menit lagi," kata Taeil. Dan kemudian fokus dengan smartphone-nya.
Aku kembali menatap smartphone di genggamanku. Mungkin jika aku tidak diterima di universitas itu, saatnya bagiku untuk memulai hidup tanpa ada orang yang kukagumi. Karena akhirnya akan sama saja.
Akhirnya hanya ada aku sendirian yang tak mengerti harus bagaimana dengan perasaanku sendiri.
"Sudah dapat pengumumannya?" suara Taeil membuyarkan lamunanku. Ia masih sibuk berkutat dengan smartphone-nya. Keadaan di sekitar halaman sekolah itu mulai ramai.
Ramai dengan pekikan senang. Dan mulai terdengar tangisan sedih. Mungkin karena ia kurang beruntung tidak diterima di universitas pilihannya.
"Taeil!" aku menjerit tertahan. Taeil menoleh.
"Apa? Kau diterima?"
***
Katakan aku susah melakukan hal yang paling gila dalam hidupku. mumgkin otakku sudah terbang begith saja begitu aku melihat namaku ada di daftar itu. Dengan tulisan 'selamat' di sampingnya.
Aku memeluk Taeil kegirangan.
Kabar baik, ia juga diterima. Di universitas yang sama.
Dan sekarang aku tinggal menanggung malu jika aku aku bertemu dengannya lagi. Mungkin mulai sekarang lebih baik aku menyiapkan permintaan maaf. Entah dengan sebuah narasi atau secarik surat.
Aku memang terlampau kaku.
Mungkin lebih baik jika sekaran aku meminta maaf terlebih dahulu.
***
Jung Ahra: Taeil, bagaimana kuliahmh (hapus)
Jung Ahra: Taeil, maafkan aku
Jung Ahra: Tadi aku sungguh tidak sengaja memelukmu, aku terlalu senang
Moon Taeil: Hahaha, itu tidak apa-apa
Jung Ahra: Jadi, minggu depan kita akan bertemu sebagai mahasiswa, ya?
Moon Taeil: Mungkin
Jung Ahra: Mungkin?
Moon Taeil: Oh bukan apa-apa
Moon Taeil: Ya, kita akan bertemu di sana
Jung Ahra: Sampai jumpa minggu depan
Moon Taeil membaca pesan Anda.
***
Katakan saja memang aku yang terlalu berharap. Dan aku tidak akan mengelak.
Memang benar itu adanya. Karena aku memang terlalu berharap dapat bertemu Taeil di kehidupan universitas ini. Dan dapat terus bersamanya selama masa kuliah.
Ya. Memang seperti itu inginku.
Tapi tidak dengan takdirku.
Sudah dua minggu tahun ajaran dimulai. Dan aku masih belum menemukan Taeil dimanapun. Jurusan apapun.
Aku sudah bertindak sebagai stalker dua minggu ini. Hanya untuk menemukannya. Dan hasilnya nihil.
Taeil juga tidak mendaftarkan dirinya lagi di universitas itu.
Kuhela nafas pendek. Mungkin ini saatnya aku menjalani hidup tanpa orang yang kukagumi.
***
Kalian mungkin merasa sudah melupakan siapa orang yang pernah kalian kagumi. Tapi nyatanya jantung masih saja berdetak dua kali lebih cepat setiap kali melihatnya.
Seperti aku sekarang ini.
Sudah beberapa tahun sejak aku memutuskan untuk menjalani kehidupan kuliahku tanpa seseorang yang kukagumi, aku menemukannya.
Ia bahagia. Berdiri di antara belasan lelaki tampan lainnya. Ia menyanyi, menjalani hidup yang ia inginkan.
Dan aku tahu itulah yang ia harapkan, dan yang pantas ia dapatkan.
Moon Taeil, aku selalu mengharapkam kebahagiaan untukmu. Dan sekarang aku bisa melihatmu melakukan apa yang membuatmu bahagia. Aku senang.
Selamat ulang tahun, Moon Taeil.
Siapa yang tak mengenalmu?
Hanya siswa yang paling menutup diri yang tidak mengenalmu. Atau siswa yang terlalu mengangkat dagu untuk peduli ada malaikat sepertimu di sini.
Aku sempat mengira, pertemuan saat itu adalah awal dari segalanya.
Yang ternyata hanyalah sebuah perkenalan bagi diriku. Tentang bagaiamana ternyata takdir semudah itu mempermainkan hidup. Hidup siapapun saja. Bukan hanya milikku, atau milikmu.
Ternyata kau yang kulihat langsung hanyalah sebuah perkenalan dari akhirnya, aku hanya bisa melihatmu melalui televisi.
***
Hari itu hari yang mendebarkan. Pengumuman kelulusan, sekaligus universitas.
Siapa yang tidak ingin diterima di universitas yang diinginkan? Sementara aku termasuk anak-anak yang sudah memilih suatu universitas. Meskipun orang tuaku awalnya tak menyetujui. aku akan tetap membuktikan jika aku bisa sendiri.
Dan jelas sekali. Aku gugup bukan main. Aku akan mendaftar universitas apalagi jika pilihanku tidak diterima.
"Halo, Ahra," aku menoleh. Senyuman yang sudah tak asing lagi. Moon Taeil.
Ia bukan teman sekelasku. Hanya satu angkatan. Dan saling mengenal hanya karena sama-sama mengikuti klub musik. Ia suka menyanyi, dan aku suka alat musik.
"Hei," balasku. Pemilik senyum tak asing itu duduk di sampingku. Turut membuka smartphone-nya. Membuka website sekolah.
"Aku mendaftar di universitas xxx. Bagaimana denganmu?" Taeil kembali buka suara.
"Kita mendaftar di universitas yang sama," jawabku. Mencoba menyembunyikan bunyi jantungku yang berdetak dua kali lebih keras. Siapa yang tidak senang bisa berada di satu universitas yang sama dengan Taeil.
"Kupikir kau sudah bisa meyakinkan orang tuamu?" tanya Taeil lagi. Aku lupa jika aku pernah menceritakan kesukaanku yang dilarang orang tuaku. Aku hanya menganggukkan kepala pelan. Tak yakin harus menjawab apa.
"2 menit lagi," kata Taeil. Dan kemudian fokus dengan smartphone-nya.
Aku kembali menatap smartphone di genggamanku. Mungkin jika aku tidak diterima di universitas itu, saatnya bagiku untuk memulai hidup tanpa ada orang yang kukagumi. Karena akhirnya akan sama saja.
Akhirnya hanya ada aku sendirian yang tak mengerti harus bagaimana dengan perasaanku sendiri.
"Sudah dapat pengumumannya?" suara Taeil membuyarkan lamunanku. Ia masih sibuk berkutat dengan smartphone-nya. Keadaan di sekitar halaman sekolah itu mulai ramai.
Ramai dengan pekikan senang. Dan mulai terdengar tangisan sedih. Mungkin karena ia kurang beruntung tidak diterima di universitas pilihannya.
"Taeil!" aku menjerit tertahan. Taeil menoleh.
"Apa? Kau diterima?"
***
Katakan aku susah melakukan hal yang paling gila dalam hidupku. mumgkin otakku sudah terbang begith saja begitu aku melihat namaku ada di daftar itu. Dengan tulisan 'selamat' di sampingnya.
Aku memeluk Taeil kegirangan.
Kabar baik, ia juga diterima. Di universitas yang sama.
Dan sekarang aku tinggal menanggung malu jika aku aku bertemu dengannya lagi. Mungkin mulai sekarang lebih baik aku menyiapkan permintaan maaf. Entah dengan sebuah narasi atau secarik surat.
Aku memang terlampau kaku.
Mungkin lebih baik jika sekaran aku meminta maaf terlebih dahulu.
***
Jung Ahra: Taeil, bagaimana kuliahmh (hapus)
Jung Ahra: Taeil, maafkan aku
Jung Ahra: Tadi aku sungguh tidak sengaja memelukmu, aku terlalu senang
Moon Taeil: Hahaha, itu tidak apa-apa
Jung Ahra: Jadi, minggu depan kita akan bertemu sebagai mahasiswa, ya?
Moon Taeil: Mungkin
Jung Ahra: Mungkin?
Moon Taeil: Oh bukan apa-apa
Moon Taeil: Ya, kita akan bertemu di sana
Jung Ahra: Sampai jumpa minggu depan
Moon Taeil membaca pesan Anda.
***
Katakan saja memang aku yang terlalu berharap. Dan aku tidak akan mengelak.
Memang benar itu adanya. Karena aku memang terlalu berharap dapat bertemu Taeil di kehidupan universitas ini. Dan dapat terus bersamanya selama masa kuliah.
Ya. Memang seperti itu inginku.
Tapi tidak dengan takdirku.
Sudah dua minggu tahun ajaran dimulai. Dan aku masih belum menemukan Taeil dimanapun. Jurusan apapun.
Aku sudah bertindak sebagai stalker dua minggu ini. Hanya untuk menemukannya. Dan hasilnya nihil.
Taeil juga tidak mendaftarkan dirinya lagi di universitas itu.
Kuhela nafas pendek. Mungkin ini saatnya aku menjalani hidup tanpa orang yang kukagumi.
***
Kalian mungkin merasa sudah melupakan siapa orang yang pernah kalian kagumi. Tapi nyatanya jantung masih saja berdetak dua kali lebih cepat setiap kali melihatnya.
Seperti aku sekarang ini.
Sudah beberapa tahun sejak aku memutuskan untuk menjalani kehidupan kuliahku tanpa seseorang yang kukagumi, aku menemukannya.
Ia bahagia. Berdiri di antara belasan lelaki tampan lainnya. Ia menyanyi, menjalani hidup yang ia inginkan.
Dan aku tahu itulah yang ia harapkan, dan yang pantas ia dapatkan.
Moon Taeil, aku selalu mengharapkam kebahagiaan untukmu. Dan sekarang aku bisa melihatmu melakukan apa yang membuatmu bahagia. Aku senang.
Selamat ulang tahun, Moon Taeil.
Komentar
Posting Komentar