Fen.
Title : Fen.
Author : nad. @donadkacang
Rate : general
Genre : romance ; angst ; drama ; imagine ; horror dikit
Length : oneshot
Cast : -Hwang Fen (oc)
-Xi Lu Han (EXO-M)
-find it'-'
Playlist : Flower - Yong Jun Hyung (Beast) ; Don't Leave Me - Super Junior
Summary :
"Di saat kelopak bunga terakhir ini terjatuh. Di saat itulah aku tidak akan muncul kembali di hadapanmu."
***
Fen menatap sebuket
edelweis kekuningan yang merekah di tangannya. Bunga berukuran mungil itu ada beberapa belas tangkai. Entahlah, Fen tidak mungkin menghitungnya.
Anak rambut Fen
tergerak kecil tertiup angin. Angin sore yang begitu damai. Tangan Fen tergerak
perlahan menyentuh lembut kelopak edelweis.
“Kenapa hanya ada
edelweis kuning dan putih di sini? Tidak adakah beberapa tangkai tulip saja?”
gumam Fen sendiri. Pada keheningan sore yang menghanyutkan di taman rumah sakit
sore itu. Dengan infus yang masih tertancap, Fen menyentuh lembut kelopak kecil
itu.
“Tulip merah jambu. Apa
Ibu tidak mau membawakanku setangkai tulip merah jambu saja untukku?”
“Oh, iya. Ibu terlalu
sibuk. Ayah pun juga. Aku harus bisa mengerti itu,” Fen tersenyum kecil. Hanya
tatapan kosong ysang terpancar dari mata bulatnya.
“Fen.. itu pink. Tulip merah jambu.. itu Fen. Fen
yang lemah..”
***
“Fen..” panggil wanita
separuh baya itu perlahan. Mengelus lembut rambut hitam legam putri semata
wayangnya.
Hwang Fen. Yang kini
terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Membiarkan kanker paru-paru perlahan
menggerogotinya.
Menghabiskan setitik
demi setitik semangat hidupnya. Hingga gadis ceria itu menjadi seperti ini.
Menunggu kelopak mungil edelweis itu hilang tertiup angin.
“Bu..” balas Fen lemah.
Ia mulai sesak nafas kembali.
“Maafkan Ibu,” wanita
paruh baya itu tidak menangis. Tidak juga tersenyum. Hanya menatap kosong putri
semata wayangnya.
Baginya, ia tidak perlu
menunjukkan rasa sayangnya pada gadis kecilnya. Ia sudah remaja. Harusnya tahu
bagaimana kasih sayang seorang ibu.
Hingga seorang ibu
bosan menunjukkan rasa kasihnya, sayangnya. Yang ia tahu, ia menyayangi
putrinya.
“Ibu.. aku kesepian,”
kata Fen tersenyum lemah. Fen tidak pernah memaksa ibunya untuk tinggal. Ia
hanya butuh seorang teman mungkin. Atau sebuket tulip merah jambu kesukaannya.
“Drrtt..” pintu bangsal
rumah sakit yang dua bulan ini Fen tinggali sendiri, bergeser. Seorang suster
masuk dengan mendorong kursi roda.
Seorang lelaki duduk di
atasnya, tersenyum ramah pada Fen. Fen membalasnya kikuk. Mata lelaki itu
seperti bersinar.
“Kau dapat teman baru
sekarang,” kata Ibu Fen.
“Tapi bukan berarti Ibu
meninggalkanku di sini, bukan? Datanglah setiap hari,” tanya Fen. Ibu Fen
kembali membelai rambut legam Fen.
“Kau harus mengerti,
setuju?” jawab Ibu Fen. Lalu melenggang keluar tanpa banyak berkata-kata lagi.
Lelaki itu di ranjang
sebelah tempat Fen. Mungkin ia juga mengidap kanker. Hingga mereka ditempatkan
dalam satu bangsal.
“Hai..” sapa Fen kecil
saat suster yang membawanya sudah pergi.
“Hai~ aku Xi Lu Han.
Kau?” lelaki itu langsung memperkenalkan dirinya. Tampak ramah.
“Aku Hwang Fen,” jawab
Fen singkat.
“Apa.. kau sudah lama
di sini?” tanya Luhan.
“Kenapa kau di sini?”
Fen balas bertanya. Luhan menatapnya bingung.
“Kedua pertanyaan itu
sama, bukan? Ah, lupakan. Aku memang ‘aneh’. Aku.. kanker paru=paru. Kau?”
tatapan bingung Luhan akhirnya hilang.
“Aku tidak tahu aku
mengidap penyakit apa. Aku hanya menurut saat diminta tinggal di sini,” jawab
Luhan. Aneh. Ia bahkan tidak tahu ‘mengapa ia ada di sini’.
“Kau pasti sangat
kesepian di sini..” kata Luhan melihat-lihat ranjang-ranjang lain di bangsal
itu yang kosong. Fen menggeleng perlahan.
“Aku tidak kesepian.
Mungkin.. hanya butuh seorang teman. Aku.. tidak pernah merasa sendiri,” balas
Fen tersenyum kecil.
“Sekarang kau sudah
punya teman, bukan?” tanya Luhan.
“Ya. Terima kasih sudah
mau menjadi temanku. Ah.. apa di dekat rumah sakit ini ada toko bunga? Aku
ingin mencari sesuatu,” tanya Fen.
“Tidak. Toko bunga
hanya ada di ujung Seoul. Di sekitar pegunungan Namsan. Kau lupa?” Luhan
tertawa. Matanya jauh tampak lebih indah.
“Ah.. pantas Ibu malas
mencarinya,” keluh Fen menghela nafas pelan.
“Memangnya.. kau suka
bunga apa?”
“Tulip merah jambu. Itu
kesukaanku,” jawab Fen tersenyum.
“Sebentar..” Luhan
mengambil ransel abu-abu yang entah sejak kapan ada di sana. Mengaduk-aduknya
sebentar seperti mencari sesuatu.
Ia menarik sebuah buku
tebal seperti novel. Tapi aneh, tidak ada satu kata pun yang menunjukkan judul
novel itu. Tepat di tengah-tengah buku itu Luhan membukanya. Terdapat selembar
pembatas buku yang tidak dapat Fen lihat.
Luhan mengambilnya.
Melihatnya sebentar. Lalu menyodorkannya pada Fen yang menatapnya bingung.
“Bagaimana jika fotonya
dulu? Kapan-kapan akan kuberikan yang asli,” kata Luhan tersenyum tulus.
“Ah~ terima kasih~”
balas Fen melihat foto perkebunan tulip merah jambu itu. Fen berani bertaruh.
Tidak akan ada perkebunan seperti ini di Seoul.yang sudah dipenuhi pepohonan
beton.
“Ini cantik sekali..
aku suka,” Fen melihat foto itu lagi.
“Itu dulu milik ibuku.
Pembatas bukunya. Tapi diberikan padaku. Berarti itu milikku, bukan? Syukurlah
jika kau menyukainya. Itu untukmu,” ujar Luhan menatap buku tebal yang masih di
tangannya.
“Sungguh? Tidak apa-apa
jika ini untukku?” tanya Fen takut-takut Luhan berubah pikiran. Tapi itu juga
tidak mungkin Luhan tega mengambil kembali ‘barang yang sudah menjadi kesukaan
Fen’.
“Tentu saja tidak
apa-apa. Memangnya kenapa?”
“Mungkin saja itu
pembatas buku kesukaan ibumu. Harusnya itu jadi milikmu, bukan?” Fen
memastikan.
“Tapi.. kau sepertinya
lebih menyukainya. Aku tidak suka bunga. Aku memakainya hanya untuk membuat
ibuku senang.”
***
Sore ini berbeda.
Biasanya Fen hanya sendirian. Duduk menikmati angin sore yang membelai anak
rambutnya lembut. Tapi kini ia malah merasa aneh. Merasa ada sesosok lain di
sebelahnya. Xi Lu Han.
Lelaki itu entah sedang
apa dengan dunianya. Dan Fen pun begitu. Asyik membaca novel yang tadi pagi di
bawa ibunya. Novel kesukaannya. Jelas saja ia tak peduli apa yang dilakukan
lelaki itu.
Tapi kini ia malah
penasaran. Dari balik novel tebalnya Fen berkali-kali mencoba mengintip. Dan
berkali-kali Luhan menyadari itu dan semakin menutupi apa yang ditulisnya.
“Kau sedang apa?” tanya
Fen berpura-pura tetap fokus pada novelnya.
“Kau mengintipku. Iya,
kan?” balas Luhan.
“Tidak. Untuk apa? Aku
hanya penasaran kau sedang apa. Biasanya kau mengomel tidak jelas,” ujar Fen.
“Nanti kau akan tahu
sendiri.”
***
Semenjak keberadaan
lelaki itu, Fen berubah. Sifat cerianya yang dulu sempat hilang, kini
berangsur-angsur kembali. Secara mental, Fen berkembang lebih baik. Penyakitnya
perlahan hilang, aneh.
Fen awalnya tidak
percaya. Apa ini karena takdirnya untuk sembuh? Atau karena Luhan ia sembuh?
Atau karena obat yang selalu dikonsumsinya?
“Luhan, jika.. aku
sudah pulang, kau akan tetap di sini?” tanya Fen memainkan kelopak edelweis di
tangannya.
“Tidak tahu. Aku akan
tetap di sini atau aku akan menghilang,” jawab Luhan enteng.
“Menghilang? Apa
maksudmu?” tanya Fen bingung.
“Aku.. hanya sebagian
dari khayalanmu, Fen. Aku hanyalah temanmu di sini. Jika kai keluar dari rumah
sakit ini, kau tidak akan di sini lagi, bukan? Kau sudah terlalu lama di sini,”
jelas Luhan.
“Tentu saja aku akan
datang mengunjungimu!” seru Fen.
“Ini tulip merah jambu
untukmu. Maaf hanya setangkai. Setidaknya ada suatu hal yang dapat kau ingat
dariku,” kata Luhan menyerahkan setangkai tulip merah jambu pada Fen. Mata Fen
yang sejak tadi berkaca-kaca, kini sudah basah oleh air mata.
“Di saat kelopak bunga
terakhir ini terjatuh. Di saat itulah aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.”
“Apa maksudmu berkata
seperti itu? Jangan tinggalkan aku!”
***
Dunia ini terlalu egois
jika hanya untuk kita sendiri. Fen terlalu lemah untuk berada di kenyataan.
Harusnya ia hanya menjadi khayalan selamanya. Dan semua ini semu.
Luhan pergi begitu
saja. Bertepatan di saat sehelai kelopak tulip merah jambu terakhir itu terjatuh.
Bunga itu tetap layu. Sekalipun Fen meletakkannya di vas indah penuh air.
Pertemanan itu berakhir
dengan tidak berujung. Perasaan nyaman Fen bersama lelaki itu menggantung
begitu saja. Mungkin akan layu begitu saja. Atau malah bertambah subur.
Fen tidak mengerti
semua ini. Luhan meninggalkannya.
Komentar
Posting Komentar